Tradisi 7 Likur atau 7 Liko dalam pelafalan lidah orang Daik, kabupatan Lingga tak pernah padam. Lampu-lampu pelita berbahan bakar minyak tanah dari sumbu kain bekas dan goni yang diisi dalam limbah minuman kaleng berpijar disudut rumah dan ruas-ruas jalan.
Tradisi yang satu ini boleh dikatakan paling dinananti saat penghujung bulan Ramadhan atau bulan puasa. Dilaksanakan setiap malam ke 27. Tidak hanya di Daik, kampung-kampung di sekitar wilayah pulau Lingga juga melaksanakan tradisi serupa.
Bahkan, dibeberapa daerah serumpun lainnya seperti Bangka, Bengkalis di Riau serta beberapa daerah lain juga melaksanakan tradisi ini. Hanya nama dan penyebutannya yang sedikit berbeda.
Di Bangka, tradisi ini di sebut Nujuh Likur. Di Riau mengenalnya dengan istilah Festival Lampu Colok dan juga Gunung Api. Merangkai lampu-lampu dalam bentuk yang beragam.
Namun tetap bercorak Islami. Seperti bangunan masjid, gubah, bulan-bintang ditambah pula seni kaligrafi serta motif-motif melayu yang umum ditemukan di Daik. Dikemas dalam sebuah bangunan Pintu Gerbang oleh para pemuda. Ada juga yang menambah ucapan selamat Hari Raya.
Tradisi ini bukan merupakan ritual orang melayu. Ataupun sesuatu yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Hanya terasa kurang lengkap jika kemeriahan bulan puasa yang memang dipandang sangat spesial dari bulan-bulan lainnya tidak diisi dengan kreasi seni rupa tersebut.
Pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan, umat muslim di ingatkan untuk meningkatkan ibadahnya. Karena ada malam besar. Salah satu dari malam ganjil yang kebaikkannya lebih dari 1000 bulan. Malam Lailatul Qadar.
Menurut orang-orang tua di Daik, tradisi 7 Liko yang berawal dari kampung-kampung ini tujuannya memudahkan orang-orang untuk pergi ke surau ataupun masijid. Jalan-jalan kampung yang gelap diberi lampu pelita. Dimulai dari malam ke 21 atau dikenal malam Se Liko atau Satu Likur.
Kemudian terus berkembang dengan berbagai tambahan dan kreasi. Menurut orang-orang tua di Daik, baru tahun 50 an, tradisi 7 Liko dimeriahkan dengan Pintu Gerbang. Awalnya hanya lampu pelita yang diasang dimasing-masing perkarangan rumah.
Hasil kreasi anak-anak muda ini kemudian menjadi spirit baru berkarya. Ditambah lagi, saat Lingga masih berstatus kecamatan dulu, ada apresiasi. Pintu Gerbang diperlombakan. Hampir rata tiap-tiap kampung ikut berpartisipasi. Menata seindah mungkin, secantik mungkin. Semangat bergotong royong hidup. Warga berswadaya mencari kayu dihutan hingga mengumpulkan uang untuk membeli perlengkapan minyak tanah, kertas, serta juadah yang kadang juga disumbang dari rumah-rumah untuk anak muda yang bekerja.
Kemeriahan malam 7 Liko menjadi yang dinanti-nanti. Tradisi yang menjunjung kebersamaan dalam menghidupkan kampung-kampung melayu. Semodren apapun perkembangan dunia hari ini, terasa kurang lengkap jika kampung-kampung melayu tidak lagi melaksanakan 7 Liko.
Sumber : http://www.pulaulingga.com/arsip/1020