Kasus diskriminasi kepada penyandang disabilitas memang
bukan kali pertama kita temui. Setidaknya, hal seperti ini mungkin sudah sering
dialami teman-teman penyandang disabilitas kita.
Seperti halnya yang dialami oleh Annisa Rahmania, penyandang
disabilitas rungu, yang disikriminasi oleh seorang ojek online, hari Selasa
(27/3) tempo hari. Annisa akhirnya melaporkan kejadian tersebut langsung ke
akun official ojek online tersebut, yakni GrabID.
Enggak berhenti sampai di Annisa, ternyata kasus yang
menimpanya tersebut viral di media sosial Instagram berkat postingan dari Surya
Sahetapy, aktivis sekaligus penyandang disabilitas rungu, serta di-repost oleh
akun @dramaojol.id.
Banyak kecaman dan respon dari pengguna media sosial hingga
mendapat tanggapan dari GrabID yang meminta maaf dan memberi konfirmasi,
berikut juga keterangan yang disampaikan oleh pemilik akun pengemudi Grab yang
viral tersebut.
Well, meskipun
masalah ini sudah selesai, dengan tanggapan dan permintaan maaf dari pihak Grab
dan pengemudi, kita enggak boleh cepat melupakan kejadian ini begitu saja.
Diskriminasi tetaplah hal yang salah dan enggak seharusnya kita lakukan.
Sebenarnya pelajaran apa sih yang bisa kita dapatkan dari
kasus Annisa dan diskriminasi yang dia alami ini? Yuk, simak artikel berikut!
Memiliki
Hak yang Sama
Disabilitas seringkali dipahami berbeda kemampuan,
berkebutuhan khusus, atau mempunyai cara berbeda untuk melakukan sesuatu.
Bahkan enggak jarang ada yang memberi stigma atau labeling seperti cacat,
sakit, idiot, lumpuh, tuli, gagap, tidak normal, dan sebagainya.
Padahal sebenarnya, ada istilah yang lebih maju, yaitu
difabel yang dimaknai bahwa setiap orang yang disebut disable hanya memiliki
cara berbeda dalam melakukan sesuatu. Misalnya disabilitas netra sebenarnya
bisa melihat, tapi melihat dengan menggunakan indra lain. Disabilitas rungu
sebenarnya sebenarnya bisa mendengar, namun menggunakan bahasa isyarat atau
alat bantu. Disabel daksa sebenarnya bisa berjalan, walaupun menggunakan
tongkat atau kursi roda, dll.
Intinya, penyandang disabilitas adalah sama seperti kita.
Sama-sama manusia yang memiliki hak yang sama tanpa harus dibeda-bedakan kebutuhannya.
Dalam menggunakan jasa atau fasilitas publik, difabel juga memiliki hak yang
sama seperti kita, untuk dihargai dan dihormati sebagai seorang pengguna.
Difabel juga berhak mendapat perlakuan yang sopan.
Kita enggak perlu menempatkan diri sebagai seseorang yang
memiliki anak, saudara, atau teman dengan disabilitas untuk bisa memahami
keadaan atau bisa menghargai mereka. Tempatkan diri kita sebagai manusia yang
sama seperti mereka saja, dengan begitu kita akan lebih memahami mereka tanpa
perlu membeda-bedakan.
Lalu
bagaimana seharusnya kita memperlakukan seorang penyandang disabilitas?
Dikutip dari buku berjudul Disability
Etiquette – Tips on Interacting People with Disabilities terbitan ASB (arbeiter-Samariter-Bund) Deutsland e.V,
setidaknya ada 6 hal-hal dasar dalam memperlakukan seorang penyandang
disabilitas, yakni;
Bertanya dulu
sebelum membantu
Meskipun menyandang siabilitas tertentu, kita enggak perlu
beranggapan bahwa dia selalu membutuhkan pertongan. Jika lingkungannya
aksesibel, difabel biasanya bis amelakukan segala sesuatu dengan baik.
Bahkan seorang difabel dewasa mengharapkan dirinya
diperlakukans ebagai pribadi mandiri. Tawarkan bantuan hanya ketika mereka
mmebutuhkan bantuan. Lalu tanyakan, bagaimana kita bisa membantu mereka sebelum
melakukannnya.
Peka terhadap
kontak fisik
Beberapa penyandang disabilitas bergantung pada kedua tangan
mereka untuk menjaga keseimbangan. Memegang kedua tangan mereka, meski kita
bermaksud buat membantu, justru bisa membuatnya kehilangan keseimbangan, lho. Hindari
menepuk kepala, memegang kursi roda atau pun tongkatnya. Difabel menganggap
alat bantu mereka sebagai bagian dari hal personal mereka.
Pertimbangkan
sebelum berbicara
Meski ada penerjemah di antara kita, sebaiknya kita tetap
berbicara langsung kepada penyandang disabilitas, bukan kepada pendamping atau
penerjemahnya. Percakapan yang ringan dengan penyandang disabilitas merupakan
hal yang baik, dan berbicaralah kepadanya sebagaimana kita melakukannya kepada
orang lain. Pastikan juga untuk menghormati privasinya.
Jangan berasumsi
Sama seperti kita, penyandang disabilitas juga mampu
melakukan suatu pekerjaan dengan baik. Mereka bisa mengambil keputusan terbaik
tentang apa yang bisa atau pun enggak bisa mereka lakukan. Jadi kita enggak
perlu mengambil keputusan untuk mereka soal bagaimana mereka terlibat dalam
aktivitas tertentu.
Menanggapi
permintaan dengan ramah
Sama seperti kita yang sesekali memiliki permintaan dan
butuh bantuan, penyandang disabilitas juga enggak jauh beda. Mereka juga kadang
memiliki permintaan yang sama. Ketika mereka mengemukakannya, sebaiknya kita
menanggapi dengan sopan dan ramah, sebagaimana kita menanggapi teman-teman kita
pada pada umumnya.
Jika kita enggak bisa mewujudkan permintaan tersebut, kita
juga bisa kok, mengatakan ketidakmampuan kita dengan cara yang tetap santun dan
ramah.
Petunjuk tentang
penggunaan istilah
Penggunaan istilah yang mengacu pada penyandang disabilitas
sangat penting buat kita ketahui. Seperti penggunaan ‘penyandang
disbailitas/difabel’ yang lebih baik ketimbang penggunaan kata ‘orang cacat’.
Penyandang disabilitas tidak butuh atau tidak ingin
dikasihani. Enggak seharusnya juga mereka dianggap ‘berani’ atau ‘istimewa’
apabila mereka berhasil menyelesaikan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari.
Demikian dikutip dari King
County, Kantor Hak Asasi Manusia, Etiket, dan Bahasa Disabilitas.
Penyandang disabilitas juga enggak suka dengan
istilah-istiah eufemisme (memperhalus) seperti ‘terhalang secara fisik’
‘terhalang pendengaran/penglihatannya’ dan ‘kemampuan berbeda’. Orang lain
mungkin tidak keberatan dengan istilah itu, tapi umumnya lebih sopan menyebut
orang yang kehilangan pendengaran tetapi masih dapat berkomuniasi dengan bahasa
percakapan dengan istilah ‘sulit mendengarkan’ atau ‘tunarungu’ untuk yang
kehilangan pendengaran sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar