1.
berlandaskan sulalat al-salatin atau sulalatus salatin dan atau sejarah melayu
yang dikarang penulis tentang tun sri lanang, tuhfat al-nafis karya agung raja
ali haji, hikayat siak yang dirawikan tengku said, hikayat Abdullah yang
dicacat Abdullah bin abdul kadir munsyi, serta bermacam macam hikayat dan
kronik melayu lainnya yang bersifat sejarah-sastra dan atau sastra-sejarah.
2. menelisik
sejimat mampu melalui catatan sejarah yang bersumber dari buku, manuskip dan
dokumen lain yang berkait-kelindan dengan melayu, termasuk melalui media
internet.
3.
wawancara langsung dengan beberapa tokoh, pelaku, saksi, sejarawan, budayawan,
dan orang tua-tua yang relative mengetahui, memahami dan menguasai sejarah
melayu.
4.
mengunjungi situs dan tapak peninggalan sejarah melayu yang masih ada serta
mencocokannya dengan sumber tertulis dan lisan.
Keempat kutub
ini coba dipertemukan dalam sebuah sembang (dialog) yang berimbang untuk
kemudian disuguh sebagai sebuah bacaan yang dapat memberi makna kekinian kepada
melayu.
Karya sejarah-sastra atau sastra-sejarah sebagaimana disebut menjadi
sumber pertama, selain bermuat sarat kandungan kesejarahan, juga menyelip mitos
dan fiksi di sana-sini. Demikian juga tuturan kisah dari kalangan orang
tua-tua. Tetapi bukan tidak mungkin mitos dan fiksi juga ditulis dan
diceritakan berdasarkan sejarah, dan atau ada kaitannya dengan peristiwa
sejarah; bedanya ia ditokok-tambah (meminjam-pakai istilah penulis prolific melayu
hasan junus), sehingga menarik dan memberi nilai kejut, sebagaimana yang
menjadi syarat sebuah karya sastra.
Bahkan bisa
saja sejarah ditulis dan diceritakan bertolak dari mitos dan fiksi lalu
dilanjutkan dengan penelusuran data dan fakta kesejarahannya. Artinya, tiada
perlu interupsi dan pertelagahan dalam pertembungan keempat kutub itu ketika
menjalani sesi dialog yang berbeda sifat dan tujuannya – yang pada banyak segi
juga memiliki magnet yang memiliki potensi untuk saling menarik dan saling
menolak, yang diambil bukanlah peristiwa tolak-menolak, tetapi yang bersifat tarik-menarik
sehingga dijumpai titik temu.
Diperuntukkan
terutama bagi generasi sekarang yang belum sempat membaca sulalat al-salatin
atau sulalatus salatin atau sejarah melayu karya tun sri lanang yang kesohor
itu serta tuhfat al-nafis karya agung raja ali haji. Mungkin saja belum sempat
mendapatkannya. Atau karena faktor bahasanya yang sulit dipahami generasi zaman
sekarang sehingga menyurutkan minat untuk membacanya.
Menawarkan diri sebagai
sebuah solusi, dengan harapan, setelah membaca, malah jadi tertarik lalu
mencari dan membaca sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis guna mendapatkan data
dan informasi selengkapnya.
Terbesit harapan:
generasi sekarang tidak mengalami amnesia sejarah. Menyitir pikiran Arthur Schopenhauer,
‘’ melalui sejarah sebuah bangsa dapat pemyadari makna kediriannya.’’ Dan sebagaimana
diharapkan hasan junus, ‘’bacaan-bacaan tentang sejarah hendaklah menjadi nasi
dan roti sehari-hari bagi seseorang yang ingin menjadi cendikiawan.’’
Mengenang masa
lalu dengan memberi makna kekinian melalui cara mengambil isi yang penting,
misalnya dari sulalatus salatin dan tuhfat al-nafis, lalu membuang kulitnya
yang tidak selari dengan tatanan nilai zaman; tiada lain sebagai upaya
menjemput masa depan melayu dan turut menjayakan melayu dengan menoleh dan
bercermin sejenak ke masa silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar