Apakah GBHN harus dihidupkan
kembali ?
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Senin (22/8) menggelar rapat membahas
kemungkinan diberlakukannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam rapat gabungan bersama Anggota Badan Legislatif dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono membacakan hasil kajian dan diskusi dari berbagai kalangan.
Sejak awal tahun ini, wacana menghidupkan kembali GBHN mulai mengemuka. Wacana ini muncul dalam Rakernas PDIP awal Januari lalu. Nama GBHN lekat dengan Orde Baru. GBHN secara ringkas adalah panduan bagaimana rencana kerja pemerintah dalam membangun.
Semua era pemerintahan menggunakan 'GBHN', hanya namanya yang berbeda. Pada Orde Lama, Pola Pembangunan Nasional Semesta dan Berencana (PPNSB). Di Orde Baru Soeharto, terminologi itu disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Setelah Orde Baru tumbang, GBHN ikut tumbang. Namanya jadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun tiga panduan pembangunan itu memiliki perbedaan.
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Saldi Isra menilai, dengan adanya perubahan UUD 1945, MPR tak lagi menjadi lembaga negara tertinggi.
MPR tak lagi berwenang memilih presiden dan wakil presiden. Karena Presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat. GBHN buatan MPR akan menghadirkan pola sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden. Kini, tanpa pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden hampir selalu dalam tekanan politik untuk dimakzulkan. Dengan perubahan posisi MPR, bagaimana mungkin menghadirkan GBHN?
Menurut pakar tentang GBHN
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan, jika dibutuhkan, MPR siap jika
nanti GBHN dihidupkan lagi. "Jadi MPR harus siap betul dengan segala
kemungkinannya kalau disetujui," kata Hidayat seperti dipetik dari detikcom. Bambang Sadono menyebutkan, pokok pikiran yang dibacakan dalam rapat itu antara lain mencakup haluan negara sebagai pemandu arah pembangunan nasional berkesinambungan dan mampu mengintegrasikan pembangunan nasional. Bambang menilai, perlu sistem perencanaan pembangunan yang berbasis kepada kedaulatan rakyat dan aspek hukum terhadap pembangunan nasional.
Menurut Bambang, mayoritas masyarakat mendukung gagasan reformasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. "Badan Pengkajian menilai dukungan masyarakat perlu dihargai tapi keputusan politik tetap perlu diambil," ujar Bambang seperti dinukil dari detikcom.
Menurut Ketua Fraksi PDIP di MPR Ahmad Basarah, PPNSB mencakup pembangunan aspek-aspek fundamental dan berlaku secara luas. Termasuk membangun karakter manusia Indonesia. Sedangkan GBHN makin sempit, hanya mengatur pada pembangunan fisik dan pemerintah pusat saja.
RPJMN, lebih sempit lagi. Tiap Presiden, memiliki RPJMN. "(Sehingga) Setiap ganti Presiden akan bergantilah visi dan misi pemerintahan nasional," jelas Basarah kata Basarah seperti dinukil dari Beritasatu.com. Maka PDIP menilai Indonesia telah kehilangan visi haluan negaranya.
Niki Lukviarman menjelaskan, dalam naskah akademik yang disusun FRI tentang GBHN yang disusun tahun 2014 berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). GBHN adalah sebuah strategi ideologi pembangunan, sedangkan RPJP lebih merupakan sebuah strategi teknokratik pembangunan.
Menurut pengamat politik Yudi Latif, dengan Amandemen UUD RI 1945 keempat, terjadi perubahan struktur ketatanegaraan yang menyebabkan MPR kehilangan mandat untuk menetapkan GBHN. Dengan adanya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), otomatis nama GBHN lenyap. Wujud dan isi GBHN menjelma dalam dalam RPJPN atau RPJMN.
Menurut Saldi, menghadirkan kembali GBHN bukan hal yang tepat. Sebab, pola GBHN dengan meletakkan peran di MPR sangat berbenturan dengan sistem presidensial.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari menyebut ada tiga masalah ketatanegaraan jika GBHN kembali dihidupkan. Ketiganya adalah sistem pemerintahan, hubungan antar lembaga negara, hingga tugas dan fungsi dari lembaga negara akan ikut berubah secara signifikan.
Kesimpulan
GBHN merupakan tujuan
suatu Negara selama 5 tahun pemerintahan presiden tersebut yang dimandatkan
oleh MPR yang secara tidak langsung presiden dan lembaga Negara lainnya haruus
menjalankan tujuan tersebut.
MPR tidak berwenang
lagi membuat GBHN karena dalam UUD MPR tidak disebutkan lagi dapat membuat
GBHN, sedangkan menurut penjelasan UUD 1945 MPR merupakan penyelenggaraan
Negara tertinggi atau sekarang diistilahkan sebagai lembaga tertinggi Negara.
Dalam kekuasaan MPR ini seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi.
Dalam menjalankan kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah,
kekuasaan yang tidak terbatas inilah yang telah digunakan MPR untuk membuat
berbagai ketetapan diluar kewenangan dan tata cara yang ditentukan oleh UUD
1945.
Yang berhak menetapkan
GBHN sekarang ini tidak ada karena MPR, menurut UUD NRI 1945 tidak lagi
berwenang untuk membuat atau menetapkan GBHN. Jadi jika MPR ingin membuat atau
menetapkan GBHN kembali maka harus dilakukan amandemen UUD NRI 1945. Maka dapat
dikatakan proses untuk membuat GBHN setelah adanya amandemen adalah melakukan
amandemen terhadap UUD NRI 1945 karena menurut kami itulah satu satunya jalan
untuk memberlakukan GBHN kembali.
Ketika GBHN dihidupkan kembali, maka sistem demokrasi bisa lenyap.
Alasannya, dengan dalih GBHN, MPR dinilai punya potensi untuk mengganti sistem
pemilihan presiden dari sistem pemilihan langsung kembali ke sistem penunjukan
oleh MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar