JURNAL
MEMBANGUN
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PENINGKATAN ETOS KERJA PEGAWAI
Diajukan
sebagai salah satu syarat untuk mengikuti mata kuliah Etika dan Akuntabilitas
Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
MEMBANGUN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK MELALUI PENINGKATAN
ETOS KERJA PEGAWAI
ABSTRACT
Many government employees at
certain level must put passion of work for serving public needs as a foundation
of their motivation and dedication when choosing a career in governmental area.
An understanding about government mission in maintaining order and preserving a
justice in direct move makes public service to be the primary function. The
purpose of this research is to find out how to build a qualified public service
through enhancing work ethic / ethos of their employees. Type of the research
is descriptive qualitative and tries to explosure more about work ethics and
finding data of the employees at Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan at
Sanggau Regency. Primary data collecting methods is questioner instrument. The
research result indicates that through a good work ethics/work ethos become
alternative way to enhancing public service which consist of manner, attitude
and responsibility of Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan employees in
their duties.
Keywords: Public service, work ethos, government employe
PENDAHULUAN
Aparatur
pemerintahan pada berbagai level tingkatan harus semangat untuk melayani
kepentingan publik sebagai dasar dari motivasi dan dedikasi mereka memilih
karir di bidang pemerintahan. Komitmen pengabdian dan pelayanan yang diharapkan
dari mereka adalah bagaimana memberikan kesenangan kepada masyarakat. Pemahaman
tentang misi pemerintahan tersebut pada dasarnya adalah untuk memelihara
ketertiban dan menjaga tegaknya keadilan secara langsung akan menjadikan
pelayanan kepada masyarakat adalah sebagai fungsi yang utama.
Kesejahteraan
sosial, merupakan target maksimal yang harus dilakukan oleh aparat
pemerintahan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh negara adalah
peningkatan mutu serta taraf hidup rakyat yang semakin meningkat menyangkut
segi kebendaan kehidupan para warga masyarakat (Siagian, 1994)
Untuk
dapat melakukan hal itu, para pegawai bukan hanya perlu skill, melainkan juga harus mempunyai integritas, kepribadian dan
kemampuan untuk memahami masalah dan tantangan yang dihadapi secara tepat.
Semuanya terangkum dalam etika pelayanan publik.
Menurut
Tasman (2002) “Etos berasal dari Bahasa Yunani yang memberikan arti sikap,
kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu, etos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh budaya serta sistem nilai yang diyakininya”. Dalam
kaitannya dengan birokrasi pemerintahan, ada asumsi bahwa melalui penghayatan
etika yang baik, seorang aparatur pemerintahan akan dapat membangun komitmen untuk
menjadikan dirinya sebagai teladan. Akan tetapi, nilai-nilai etika yang berlaku
dalam birokrasi pemerintahan bukanlah sekedar menjadi keyakinan bagi para
anggotanya saja, tetapi juga menjadi seperangkat norma yang terlembagakan.
Etika harus menjadi acuan dan pedoman dalam bertindak dan yang melanggarnya
akan membawa akibat-akibat moral.
1 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
Moralitas
merupakan dasar yang teramat konkrit, jika pemahamannya diarahkan pada sebuah
konsep birokrasi yang manusiawi. Hubungannya adalah dengan sikap dan perbuatan,
hendaknya setiap aparatur pemerintah mengisinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang
positif dan menunjukkan hasil kerja sikap yang mengarah pada hasil yang
sempurna. Di dalam etika semangat untuk menyempurnakan tugas dan menghindari
segala kesalahan dalam menjalankan tugasnya, sehingga setiap pekerjaan
diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan cacat dalam pekerjaannya,
karena etika bukan sekedar kepribadian atau sikap, melainkan adalah martabat,
harga diri dan jati diri seseorang (Tasmara, 2002).
Istilah
pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak
(masyarakat) atau pelayanan umum. Menurut Suryono (2001) secara ideal
persyaratan Teori Administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain;
(1) Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat
diterapkan pada situasi kehidupaan nyata dalam masyarakat. (2) Harus mampu
menyajikan suatu perspektif ke depan. (3) Harus dapat mendorong lahirnya cara
-cara baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda. (4) Teori administrasi yang
sudah ada harus dapat menjadi dasar untuk mengembangkan teori administrasi
lainnya, khususnya pelayanan publik. (5) Harus dapat membantu pemakainya untuk
menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi. (6) Bersifat multidisipliner
dan multidimensional.
Namun
seringkali pelayanan publik yang diberikan perusahaan tidak dapat memenuhi apa
yang diharapkan oleh pelanggan. Menurut Tjiptono (1996) kegagalan dalam proses
penyampaian pelayanan ini disebabkan karena adanya lima perbedaan persepsi
yaitu, pertama, perbedaan persepsi antara harapan pelanggan dan persepsi
manajemen. Kedua, perbedaan antara persepsi manajemen terhadap harapan
pelanggan dan spesifikasi kualitas pelayanan. Ketiga, perbedaan antara
spesifikasi kualitas pelayanan dan penyampaian pelayanan. Keempat, perbedaan
antara penyampaian pelayanan dan komunikasi eksternal. Kelima, perbedaan antara
pelayanan yang dirasakan dan pelayanan yang diharapkan.
Untuk
menilai kualitas publik, Lembaga Administrasi Negara (1998) mengajukan kriteria
seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi,
ekonomi, keadilan yang merata, ketepatan waktu serta kriteria kuantitatif.
Kriteria tersebut merupakan patokan untuk memberikan pelayanan publik yang baik
yang melahirkan kepuasan masyarakat.
Dalam
pelayanan publik organisasi yang berperan adalah organisasi pemerintah atau
dalam hal ini adalah organisasi birokrasi, yang dipergunakan pemerintah modern
untuk pelaksanaan tugasnya yang bersifat spesialisasi dan impersonal
dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut, birokrasi harus menempatkan diri sesuai dengan
kondisi dan tahap perkembangan masyarakat. Sehingga dalam menyusun struktur
organisasi birokrasi harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1)
spesialisasi pelayanan, (2) standarisasi kegiatan, (3) koordinasi kegiatan, (4)
sentralisasi dan desentralisasi pembuatan keputusan, dan (5) ukuran kerja
(Handoko, 1997).
Agar
aktivitas dan pengambilan keputusan lebih dekat dan mengutamakan pelayanan
kepada masyarakat, maka harus diciptakan struktur organisasi yang lebih
apresiatif dan adaptif yaitu struktur yang lebih desentralisasi, dengan mengarahkan
banyak kepentingan ke pinggiran atau menekankan otoritas keputusan yang lain ke
‘bawah’ dengan membuat hirarki menjadi datar (flat) dan memberikan otoritas
kepada pegawainya (Osborn dan Gaebler, dalam Zauhar, 2001).
Dalam
konsep manajemen publik, memindahkan wewenang dengan tidak hanya sekedar
mendelegasikan kepada bawahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat
(Wellins, Byhan, dan Wilson dalam Zauhar, 2001). Dalam hal dimana dapat
meningkatkan customer service Secara kelembagaan (institution) upaya untuk mendekatkan
pengambil keputusan
2 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
dengan pengguna jasa memang diperlukan perubahan kelembagaan, dan
pembangunan kelembagaan.
Manajemen
pelayanan yang efektif memerlukan fokus dari menciptakan produk berkualitas dan
daya manfaat yang meliputi setiap aspek hubungan dengan pengguna jasa. Pada
tingkat kompetisi akan semakin terbuka di era globalisasi nanti, maka dorongan
untuk membangun pemerintahan yang digerakkan oleh masyarakat sebagai pengguna
jasa layanan. Dengan semakin memperbaiki manajemen pelayanan publik, semakin
strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan pelayanan publik,
semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini.
Oleh sebab itu, perlu adanya perubahan perspektif manajemen pelayanan publik
yang mengubah fokus manajemen dari instansi atau lembaga-lembaga pemerintah
yang ada.
Kesulitan
mendapatkan pelayanan yang berkualitas akan mengakibatkan munculnya take and give atau customer yang memberi pekerjaan. Jika hal ini terjadi akan
memunculkan adanya suap, sebab bagi
orang-orang yang membayar suap, kelambatan pelayanan dapat diatasi dengan
mudah. Selain itu pekerjaan yang didasarkan atas suatu imbalan kepada pejabat
atau pegawai yang melayani mereka hanya akan mengakibatkan kurangnya rasa
hormat pengguna jasa terhadap organisasi (Silalahi dalam Zauhar, 2001).
Masyarakat
sebagai pihak yang ingin memperoleh pelayanan tentunya mendambakan pelayanan
yang baik dan memuaskan. Menurut pendapat Moenir (1998) pelayanan publik yang
didambakan adalah: (1) Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan
pelayanan yang cepat. (2) Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gurauan,
sindiran atau kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan
sesuatu, baik untuk alasan dinas atau untuk kesejahteraan. (3) Mendapatkan
perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama. (4)
Pelayanan yang jujur dan terus terang.
Menurut
pandangan Moenir (1998) agar layanan tersebut dapat memuaskan orang atau
kelompok orang yang dilayani, maka pelaku yang bertugas melayani harus memenuhi
kriteria antara lain: tingkah laku yang sopan, cara penyampaian sesuatu yang
berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan,
waktu penyampaian yang tepat dan keramahtamahan. Penyelenggaraan pelayanan
publik yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yaitu melalui
pengaturan pelayanan publik, seyogyanya dapat menciptakan sistem pelayanan
publik yang efisien, akuntabilitas, murah, cepat, transparan dan non
diskriminatif (Anonymous, 2003).
Begitu
penting profesionalitas pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijakan No.81 Tahun
1993 tentang Pedoman Pelayanan Umum yang perlu dijadikan pedoman oleh setiap
birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan pada
prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut: a) Kesederhanaan, b) Kejelasan dan
kepastian, c) Keamanan, d) Keterbukaan, e) Efisiensi, f) Ekonomi, g) Keadilan
yang merata, dan h) Ketepatan waktu
Pelayanan
publik yang dilakukan di Indonesia oleh birokrasi publiknya cenderung bersifat
partimonialistik (Islamy, 1998): tidak efisien, tidak objektif, overconsuming, dan underproducing, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol
dan kritik, tidak mengabdi pada
kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen
penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang otokratif dan represif.
Birokrasi
yang demikian telah membuat jarak sosial yang lebar dari publik, telah keluar
dari kodratnya sebagai institusi pelayanan publik penguasa jasa yang sejati.
Ini pula yang menyebabkan mengapa publik pengguna jasa pelayanan yang
menggunakan pelayanan tertentu nyaris berada dalam situasi yang tidak berdaya.
Model manajemen pelayanan publik yang serba monolitik, birokratik, dan
sentralistik seperti itu pada kebanyakan kasus tidak tahan banting dalam
menghadapi persaingan dan situasi ekonomi politik global yang terus berubah. Ia
juga rentan, mudah terjangkiti berbagai penyakit birokrasi, yang pada
kebanyakan
3 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
kasus justru berdampak negatif terhadap semngat pengendapan kepentingan
publik. Selain kurang responsif dan lamban dalam mengambil keputusan-keputusan
yang strategis, masalah lain yang kerap kali muncul ialah masalah akses, yaitu
berupa kesukaran-kesukaran untuk menciptakan mekanisme hubungan keorganisasian
tertentu antara klien dan instansi pemerintahan yang meningkatkan sumber daya
langka terdistribusikan pada masyarakat secara efektif.
Agar
prinsip keahlian proporsional dapat terwujud dan demokratisasi dalam sektor
pelayanan publik dapat ditegakkan, maka selain perlu digalakkan sistem
reproduksi atau sistem kemitraan antara pihak pemerintah dan swasta, perlu pula
dilakukan upaya serius berupa pemberdayaan terhadap para pengguna jasa
pelayanan publik itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menekankan pada
proses penelusuran data/informasi untuk membuat suatu intepretasi. Penelitian
ini dilakukan di Kantor Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan yang
beralamat di Jl. Jendral Sudirman No. 11-12 Sanggau.
Populasi
penelitian ini adalah para pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pertanian,
Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sanggau yang berjumlah 79 orang. Dan yang
diambil sebagai sampel berjumlah 65 orang. Pendekatan yang digunakan dalam
penentuan sampel adalah dengan teknis snowball
sampling.
Terdapat
dua sumber data menyediakan informasi yang diperlukan antara lain: data primer,
dengan nara sumber adalah Kepala Dinas dan seluruh pegawai pada Dinas
Pertanian, Perikanan, dan Peternakan
Kabupaten Sanggau, dan data sekunder,
berupa dokumen, arsip, data pendukung lainnya yang relevan dengan penelitian.
Teknik
pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara : interview, pertanyaan diajukan secara langsung lisan, bertatap muka
dengan beberapa pegawai Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten
Sanggau, observasi: melakukan
pengamatan langsung terhadap kondisi, situasi proses atau perilaku yang
mempunyai korelasi pada obyek penelitian serta melakukan tanya jawab dan
pencatatan secara sistematis terhadap gejala dan fenomena yang sedang diamati
sesuai dengan tujuan penelitian, dan dokumentasi:
mengumpulkan data variabel yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Metode
analisa data menggunakan analisis deskriptif kualitatif, melakukan pencatatan
secara seksama dan penggandaan informasi dari informan terpilih serta
mendokumentasikan kemudian menguraikan dan menginterpelasikan data shg
diperoleh deskripsi fenomena tentang hubungan etos kerja pegawai dengan
pelayanan publik dan bagaimana membangun etos kerja pegawai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Etos Kerja Pegawai
dengan Pelayanan Publik
Dalam
etika pemerintahan ada asumsi bahwa melalui penghayatan etika yang baik
seseorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya
sebagai teladan tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan.
Hubungan
etos kerja dengan pelayanan disini sebatas menguraikan dan menginterplasikan
data melalui pencatatan, pengagendaan informasi dan pendokumentasian, tanpa
mengukur atau menghitung pengaruh dan hubungan keduanya dengan menggunakan
statistik.
Etos
kerja yang baik akan berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat/publik yaitu pada saat melayani, bagaimana membantu, menyiapkan,
mengurus dan juga menyelesaikan keperluan dan kebutuhan seseorang atau
sekelompok orang, khususnya di bidang pertanian, perikanan dan peternakan.
4 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
Dengan etos kerja yang baik yaitu sikap yang
mendukung terhadap pekerjaan, perilaku yang sopan, tersenyum dan memberikan
sapaan tertentu saat memberikan layanan juga mempunyai rasa tanggung jawab
terhadap pekerjaan yang diemban, akan berdampak pada persepsi masyarakat
mengenai aparatur pemerintah dengan persepsi yang positif tidak lagi negatif
memandang pegawai pemerintah dan masyarakat mendapatkan kepuasan dalam hal
layanan, adanya timbal balik antara keduanya pemerintah/sektor publik dengan
masyarakat/publik.
Ada tiga
faktor yang membangun etos kerja pegawai pemerintah untuk meningkatkan
pelayanannya pada publik/masyarakat, yaitu sebagai berikut: pertama, cara
pandang. Adalah bagaimana para aparatur pemerintah dalam memandang pekerjaan
itu dapat mengerti dan bisa dipahami oleh mereka yang memilih karir di bidang
pemerintahan, seyogyanya para aparatur pemerintah mempunyai cara pandang yang
berbeda dalam menjalankan tugas dan perannya.
Kedua,
Penghargaan (Reward) . Masalah ini memang penting untuk dijadikan motivasi bagi
karyawan dalam melaksanakan pekerjaan dan perannya karena dengan diberikannya
penghargaan kepada para karyawan berarti ada perhatian dari organisasi tersebut
atas kerja keras yang selama ini mereka lakukan sehingga apa yang menjadi
kebutuhan konsumen dalam sektor privat dan publik dalam sektor publik dapat
terpenuhi sesuai dengan kebutuhannya guna mendapatkan kesejahteraan dalam
kehidupan. Sistem pemberian penghargaan yang berlaku pada pegawai pemerintahan
saat ini adalah dengan memberikan kenaikan pangkat kepada aparat atas prestasi
yang diperoleh.
Reward diartikan
dengan ganjaran, upah dan memberi upah sedangkan pengertian pada penghargaan sendiri hampir sama dengan istilah insentif yakni tambahan penghasilan yang
diberikan kepada karyawan tertentu. Namun, pada organisasi sektor publik sulit
untuk melihat sejauh mana target yang dicapai dari para pegawai dalam
melaksanakan tugas dan perannya, namun setidaknya bisa memberikan tambahan
penghasilan baik berupa materi atau berupa sesuatu yang memberikan kepuasan
batin dan kebanggaan tersendiri bagi pegawai. Contoh dalam mengukur sejauh mana
seorang aparat pantas untuk menerima penghargaan dapat dilihat dengan
mengetahui lama pengabdian/lama kerja, tingkat kedisiplinan kerja dari pegawai,
tentunya dgn persyaratan-persyaratan yang sudah baik dan selain memberikan
penghargaan yg sifatnya tinggi seperti kenaikan pangkat tadi karena hubungannya
dengan kenaikan gaji, Pemerintah Daerah juga bisa memberikan penghargaan kepada
para aparaturnya berupa lencana, piagam dan bintang jasa, bukan hanya karena
prestasi yang diperolehnya akan tetapi karena yang bersangkutan pantas
dijadikan sebagai teladan.
Ketiga,
Lingkungan Kerja. Lingkungan antar pegawai merupakan salah satu alternatif
dalam membangun etos kerja pegawai, menurut salah satu sumber yang ada dalam
memberikan masukan kepada Kepala sangat diharapkan, hendaknya para Staf
mempunyai pemikiran yang kreatif dan tanggap tanpa harus menunggu instruksi
dari atasan untuk menyelesaikan tugasnya, hal ini menunjukkan adanya keinginan
dan kebutuhan dari para pegawai untuk dapat bergerak menjadi satu kesatuan
dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai pelayan khususnya layanan
perizinan.
Setelah
melihat keadaan lapangan pada Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Sanggau fasilitas kantor, baik yang khusus maupun umum masih cukup
baik keadaannya dan layak pakai.
Implikasi
dari hasil uraian di atas menunjukkan bahwa untuk mengerti makna dari etos
kerja guna membangun etika/etos kerja para pegawai pemerintah yaitu dengan
memahami poin-poin yang ada.
Pertama, etos kerja, mempunyai makna sikap, perilaku dan rasa tanggung jawab
setiap pegawai terhadap pekerjaannya.
5 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
Kedua, pelayanan publik, dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada yakni
meliputi masalah cara melayani,
membantu menyiapkan dan mengurus serta menyelesaikan keperluan dan kebutuhan
seseorang atau sekelompok orang.
Ketiga, membangun etos kerja, hal-hal
yang dapat membangun etos kerja pegawai dalam
rangka meningkatkan pelayanannya kepada publik dengan memahami: (a) cara
pandang pegawai pada pekerjaannya yakni sebagai pelayanan masyarakat dan abdi
negara, (b) penghargaan, dan (c) lingkungan kerja yakni interaksi antar pegawai
dan fasilitas kerja/kantor.
KESIMPULAN
Etika
kerja/etos kerja yang baik menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan
pelayanan pegawai kepada publik, yang didalamnya terdapat sikap, perilaku dan
rasa tanggung jawab seorang pegawai Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Sanggau.
Untuk
meningkatkan pelayanannya kepada publik/masyarakat selain faktor pendidikan dan
ketrampilan dimiliki oleh para pegawai ada tiga factor penting yaitu: a) cara
pandang; sebagai pelayanan bagi masyarakat dan abdi negara b) penghargaan:
penghargaan akan dapat meningkatkan etos kerja pegawai, selain penghargaan
berupa pemberian bintang jasa atau piagam penghargaan, lingkungan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Z.2002. Pelayanan Sektor Publik. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Bogdan R & Bogdan SK.1982. Qualitiative Research for Education: An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Miles, M.B & Huberman.A.M.1992. Analisis Data Kualitatif. Alih Bahasa
Tjejep R. Rohidi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Moleong, L.J.2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja. Widjaja.2004. Etika Administrasi Negara. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.
6 Jurnal Reformasi, Volume 3, Nomor 1,
Januari – Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar