Iman Sudiyat
Hukum Adat Sketsa Asas
Penerbit : Liberty, Yogyakarta
Bab IX
Hukum delik adat
1.
Pengertian barat
1.
Tindakan ilegal adalah tindakan melanggar hukum.
Menurut sistem hukum barat, tidak semua pelanggaran hukum merupakan perbuatan
pidana (delik). Perbuatan yang dapat dipidana ( ‘’ strafbaar ‘’ ) hanyalah
pelanggaran hukum yang diancam dengan suatu pidana ( ‘’ straf ‘’ ) oleh
undang-undang.
2.
Pidana ( ‘’ straf ‘’ ) menurut sistem hukum
barat adalah suatu balasan dari negara terhadap orang yang melakuka delik,
dengan maksud untuk memulihkan keseimbangan hukum. Cara membalasnya ialah
dengan memperkosa kepentingan hukum si pelaku delik, yaitu dengan memperokosa
nyawanya, kemerdekaannya, atau harta bendanya, pada hal kepentingan-kepentingan
hukum itu pada asas nya diperlindungi oleh negara.
3.
Tindakan ilegal yang tidak diancam dengan pidana
oleh undang-undang, tidak merupakan delik, melainkan hanya memungkinkan orang
lain yang menderita, yang terkena oleh tindakan itu, untuk menuntut oampas,
ganti rugi di lapangan hukum perdata.
4.
Sistem hukum barat memang memisahkan hukum
pidana dari hukum perdata. Suatu delik lahir, karena pada suatu ketika
undang-undang mengancam suatu tindakan yang melanggar suatu norma undang undang
dengan suatu pidana.
5.
Antara tindakan ilegal yang dapat dipidana dan
tindakan ilegal yang hanya mempunyai akibat-akibat di lapangan keperdataan
tidak ada perbedaan struktur. Tindakan ilegal mana yang harus di ancam dengan
pidana, itu tergantung kepada politik kriminil negara yang bersangkutan.
Didalam ilmu hukum pidana barat terdapat perbedaan antara
hukum pidana kejahatan ( ‘’ verbrechens – strafrecht ‘’ ) dengan hukum pidana
ketertiban ( ‘’ ordnungs – strafrecht ‘’ ).
a.
Verbrechens – strafrecht meliputi tindakan
tindakan yang menentang keselamatan masyarakat (anti-sosial), yaitu segala
kejahatan (crimes) yang menurut perasaan umum di seluruh masyarakat harus
dipidana, harus diberantas untuk menjaga / menjamin keselamatan negara dan
masyarakat.
b.
Ordnungs – strafrecht , meliputi pelanggaran
norma norma hukum yang mengenai tata tertib negara, pelanggaran pelanggaran
yang bersifat ringan.
6.
Suatu delik akan kehilangan sifatnya sebagai
delik, jika ancaman pidananya dicabut oleh undang undang. Setelah undang-
undang melenyapkan ancaman pidananya, maka tindakan yang bersangkutan mungkin
masih bersifat ilegal, masih melanggar hukum, tetapi tindakan itu sudah tidak
lagi termasuk lapangan hukum pidana.
Sifat pelanggaran hukum adat
1.
Di dalam sistem hukum adat pun segala tindakan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan tindakan ilegal ; hukum
adat mengenal pula upaya – upaya untuk memulihkan hukum jika hukum itu
diperkosa.
2.
Hukum adat jika mengadakan pemisahan antara
pelanggaran (perkosaan) hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali
hukum di lapangan hukum pidana ( di muka hakim pidana) dengan pelanggaran hukum
yang hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata ( di muka hakim perdata ).
Berhubung dengan itu, di dalam sistem hukum adat tidak ada perbedaan acara (
procedure) dalam hal penuntutan acara perdata ( sipil ) dan penuntutan secara
kriminil.
Apabila terjadi suatu pelanggaran
hukum, maka petugas hukum ( kepala adat, dan sebagainya ) mengambil tindakan
kongkrit ( reaksi adat ) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu. Suatu
tindakan melanggar hukum, misalnya : tidak melunasi hutang, memerlukan
pemulihan hukum. Dalam hal ini hukum dapat dipulihkan dengan penghukuman si
debiteur untuk melunasi utangnya.
3.
Terhadap tindakan tindakan ilegal lain, mungkin
pelanggaran hukum itu sedemikian rupa sifatnya, sehingga perlu diambil beberapa
tindakan untuk memulihkan hukum yang dilanggar, umpamanya :
a.
Mengganti kerugian kepada orang yang terkena ;
beserta pula :
b.
Membayar uang adat atau korban kepada
persekutuan hukum yang bersangkutan.
4.
Terhadap beberapa jenis pelanggaran
hukum,petugas hukum hanya bertindak jika diminta oleh orang yang terkena.
Sedangkan terhadap tindakan tindakan ilegal lainnya, petugas hukum bertindak
atas inisiatif sendiri. Ukuran yang dipakai hukum adat untuk menentukan dalam
hal mana para petugas hukum harus bertindak ex officio dan dalam hal mana
mereka hanya akan bertindak atas permintaan orang yang berkepentingan, tidaklah
selalu sama dengan ukuran hukum pidana barat.
Petugas hukum wajib bertindak (
ex officio ), bila kepentingan umum langsung terkena oleh suatu pelanggaran
hukum. Apa yang merupakan ‘’ kepentingan hukum ‘’ ( kepentingan masyarakat )
itu tidak selalu serupa dengan ‘’ kepentingan umum ‘’ menurut ukuran barat.
Segala sesuatu berhubungan dengan aliran pikiran yang menguasai dunia
tradisional indonesia.
Lahirnya delik adat.
1.
Di atas ( 1 nomor 4 ) telah diuraikan, bahwa
menurut sistem hukum pidana barat, suatu delik lahir dengan diundangkannya
suatu ancaman pidana di dalam staatsblad ( lembaran negara ). Di dalam sistem
hukum adat ( hukum tak tertulis ), lahirnya suatu delik itu serupa dengan
lahirnya tiap tiap peraturan hukum tak tertulis.
2.
Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia (
rule of behaviour) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada saat petugas
hukum yang kompeten mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan
itu, atau pada saat petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran
peraturan itu.
Hukum adat tidak mengenal sistem
peraturan yang statis. Dengan sendirinya tidak ada sistem hukum pelanggara adat
yang statis pula. Tiap tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan
selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu
berkembang juga, tetapi kemudian akan lenyap pula dengan adanya perubahan rasa
keadilan yang menimbulkan perubahan peraturan.
Begitu seterusnya, keadaanya
seperti menggulungnya riak-gelombang di pesisir samudra.
Begitu pula delik adat (
pelanggaran hukum adat ) lahir, berkembang dan kemudian lenyap, artinya :
tindakan tindakan yang mula mula merupakan pelanggaran hukum, lambat-laun tidak
lagi melanggar hukum karena hukum berubah. Segala sesuatu berjalan sesuai
dengan jalannya perubahan rasa keadilan rakyat. Dan rasa keadilan itu bergerak
berhubung dengan pertumbuhan hidup masyarakat yang selalu dipengaruhi oleh
segala faktor lahir dan batin.
Lapangan berlakunya hukum delik
adat
1.
Sejak KHUP berlaku, landraad ( pengadilan negeri
) dahulu tidak dapat mengadili delik delik adat yang tidak merupakan delik pula
menurut KHUP. Dalam mengadili perbuatan perbuatan yang dapat dipidana menurut
KHUP yang juga merupakan delik adat, landraad tidak wenang memerintahkan upaya-
upaya adat kecuali sebagai syarat istimewa pada pidana bersyarat (
voorwaardelijke veroordeling) ( schepper t. 129 h. 334 – 337 )
2.
Dalam pada itu hakim perdamaian desa (
dorpsrcehter) yang diakui dengan ordonansi s. 1935 – 102 (pasal 3a RO ) dan
tetap dipertahankan oleh pemerintah republik indonesia dengan UU darurat nomor 1/1951, wenang memeriksa segala
perkara yang menurut hukum adat termasuk kompetensinya itu. (pasal 3a ayat 1 RO
) jadi hakim perdamaian desa weang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga
perkara delik-adat.
3.
Didalam praktek, hakim perdamaian desa di
berbagai wilayah nusantara biasa memeriksa delik delik adat yang tidak bersifat
delik pula menurut KUHP, yang tidak dituntut oleh pegawai pegawai pemerintah
karena buka ‘’ strafbaar feit ‘’ menurut KUHP.
Misal : a. Pelanggaran peraturan
exogami ;
b. Menghamilakn anak perempuan dewasa dan belum kawin
c. Pelanggaran peraturan peraturan tabu dan sebagai nya.
b. Menghamilakn anak perempuan dewasa dan belum kawin
c. Pelanggaran peraturan peraturan tabu dan sebagai nya.
Kesemuanya itu merupakan delik
delik adat yang berat, namun tidak diancam dengan pidana oleh KUHP. Delik delik
adat semacam itu biasa diperiksa oleh hakim perdamaian desa ( vergouwen : ‘’
kehidupan hukum orang batak-toba ‘’ , h. 487 )
4.
Ada beberapa perbuatan yang merupakan delik,
baik menurut KUHP maupun hukum adat, misalnya :
a. Pembunuhan
b. Melukai orang
c. Delik delik terhadap harta kekayaan ( vermogensdelicten).
a. Pembunuhan
b. Melukai orang
c. Delik delik terhadap harta kekayaan ( vermogensdelicten).
Lambat laun rakyat di desa desa
menganggap sudah sewajarnya bahwa si bersalah dipidana oleh pengadilan negeri
dengan ancaman pidana yang ditentukan oleh KUHP.
5.
Disamping itu ada perbuatan perbuatan yang
melanggar kesusilaan ( ‘ sedendelicten ‘’ ), yang pidananya dari KUHP dianggap
tidak memuaskan rasa keadilan rakyat, sehingga masih dibutuhkan upaya upaya
adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu. Terhadap
delik perkosaan misalnya, pidana penjara saja tidak cukup, sebab masyarakat
belum dibersihkan dari kotoran batin yang disebabkan oleh perbuatan itu. Maka
dalam keadaan demikian, rakyat di desa desa biasanya tidak tinggal diam ;
bahkan setelah pengadilan negeri menjatuhkan pidana yang tentunya hanya berupa
pidana badan atau denda untuk dibayarkan kepada Kas Negeri, rakyat di desanya
sendiri menuntut supaya upaya upaya yang diharuskan oleh hukum adat, dijalankan
juga guna memulihkan kembali keseimbangan masyarakat.
Dalam hal ini hakim perdamaian
desa berwenang – juga sesudah pengadilan negeri memidana orang yang bersalah –
menghukum orang tersebut untuk menyelenggarakan upaya upaya adat, seperti :
meminta maaf secara adat, membuat selamatan (pembersih dusun), dan sebagainya.
Upaya upaya adat ini bukanlah pidana intraf , sehingga prinsip ‘’ ne bis in
idem ‘’ dalam hal ini tidaklah berlaku. Ter haar ( ‘’ halverwege de nieuwe
adatrechtspolitisk ‘’ , 1939 ) dan korn ( ‘’de wetgeving der indonesiache
volkagemeenschappen ‘’ , 1940 ) berpendapat bahwa baiklah kiranya kalau
pengadilan negara (governementsrechter) diberi wewenang untuk mengadili delik
delik adat secara hukum adat.
6.
diwilayah wilayah kepulauan indonesia, yang
disitu masih terdapat pengadilan adat ( inheemse rechtspraak ) , yang menurut
pasal 1 ayat 2 sub b UU Darurat nomor 1 / 1951 akan dihapuskan secara berangsur
angsur, maka hukum delik adat secara formal masih berlaku (pasal 26/1 ‘’
ordonnantie inheemse rechtapraak ‘’ , s. 1932 – 80. Menurut pasal 27/1 ordonnantie
tersebut, hakim pengadilan adat berwenang di samping atau sebagai pengganti
upaya adat menjatuhkan pidana yang disebut dalam pasal 10 sub a KUHP (pidana pokok ).
7.
Pasal 26/3 ordonansi tersebut menentukan bahwa
siapapun ... boleh dipidana terhadap perbuatan yang pada waktu perbuatan itu
dilakukannya, tidak diancam dengan pidana oleh hukum ... oleh peraturan undang
undang.
8.
Bagaimana hakim dapat menentukan bahwa suatu
perbuatan bertentangan dengan hukum adat ?
Telah diuraikan diatas bahwa
hukum adat tidak mengenal ... peraturan pre-eristent. Jadi suatu perbuatan yang
tadinya ... , pada suatu saat dapat merupakan delik – meskipun tadinya tidak
ada peraturan yang melarannya – bila pada saat itu juga ditetapkan oleh petugas
hukum, bahwa perbuatan itu memperkosa keseimbangan hukum, memperkosa
keselamatan masyarakat (ter haar , t. 146 h. 308 – 309 ). Berhubung dengan itu,
pasal 26/3 ordonansi pengadilan adat – sekedar ayat itu mengenai hukum adat –
harus diartikan : hakim pengadilan adat tidak boleh menghukum suatu perbuatan,
yang pada saat perbuatan itu dilakukan, tidak terdapat anggapan rakyat –
berdasarkan rasa keadilannya – bahwa perbuatan itu menentang hukum (van hattum
‘’vrijheid en gebondenheid van de strafrechter ‘’ , 1941 h. 6-7 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar