Jumat, 20 Mei 2016

Wedding photography

Suku Aru di Maluku



Suku Aru di Maluku



Bahasa : Orang Aru  memiliki 14 bahasa lokal sebagai alat komunikasi mereka. Ragam bahasa lokal tersebut diantaranya Barakai, Batuley, Doubel Language, Karey, Koba, Kompane, Lola, Larong, Manombai, Mariri Language, Tarangan Timur, Tarangan Barat, dan Ujir.

Melalatoa melaporkan, Orang Aru memiliki 10 bahasa besar, salah satu diantaranya adalah bahasa Siwalima. Bahasa Siwalima adalah rumpun bahasa Maluku yang hingga sekarang memiliki empat dialeg.

Jargaria terdiri dari dua kata yaitu : jar = Aru dan garia = pulau, tanah, kadang diartikan kehidupan. kata ini adalah bahasa tua masyarakat di Trangan Barat, atau Aru Selatan bagian Barat. jadi, Jargania artinya pulau Aru, tanah Aru atau kehidupan Aru. Wawancara dengan Bapak W. Barends, 20 september 2009, di tepa.

Sistem pengetahuan / teknologi : Akan terjadi degradasi mutu lingkungan akibat penggunaan teknologi dari pihak-pihak yang mau mencari keuntungan terhadap komunitas lokal Aru. Dalam kegiatan mengumpulkan teripang mereka tidak menggunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan lokal mengenai kehidupan teripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya.

Apabila hasil perolehan teripang melebihi kebutuhan untuk dikonsumsi sekeluarga, maka kelebihannya diawetkan dengan teknologi ramah lingkungan. Teripang hasil pengawetan dapat ditukar dengan kebutuhan rumah tangga yang lain. Dalam hal ini tradisi barter masih melekat dengan keseharian Suku Aru.

Organisasi sosial : Secara organisasi, ada pembagian tugas di antara masyarakat, laki – laki melakukan kegiatan yang bersifat di luar rumah dan bersifat keras seperti berburu, menyelam, dan berkebun; wanita akan melakukan kegiatan rumah tangga, seperti membuat kanji, memungut teripang di pantai berpasir, dan pengolahan teripang pasca panen; anak perempuan membantu kegiatan ibunya sebagai proses belajar; anak laki-laki mengamati kegiatan ayahnya sebagai proses belajar.

Sistem peralatan hidup : 

Senjata Tradisional
Senjata tradisional yang terkenal di Maluku adalah Parang Salawaku. Panjang parang 90-100cm, sedangkan Salawaku (perisainya) dihiasi dengan motif motif yang melambangkan keberanian.
Parang tersebut terbuat dari bahan besi yang keras dan ditempa oleh seorang pandai besi khusus. Tangkai parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau kayu gupasa. Sedangkan Salawaku (perisainya) terbuat dari kayu yang keras pula. Selain untuk keperluan perang, parang salawaku dipakai pula dalam menarika tari Cakalele.
Parang Salawaku


Makanan khas orang Aru adalah sagu dan umbi-umbian.

                                Rumah Adat suku aru 

Sistem mata pencaharian : Masyarakat di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki peradaban ekosentrisme, hal ini tercermin dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata pencaharian utamanya yang dibarengi dengan pengetahuan dan kearifan lokal tentang pengetahuan ekosistem pesisir dan kepulauan.

Sistem religi / kepercayaan : Dalam hubungannya dengan kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Aru msih sangat memegang kuat apa yang diajarkan leluhur pada mereka. Terutama hubungan manusia dengan alam, kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut merupakan instrumen tangguh dalam menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan alam.

Kesenian : Tari Cakalele

Tari Cakalele merupakan seni tari perang khas Maluku yang biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu agung atau dalam upacara adat, sehingga Tari Cakalele disebut sebagai tari kebesaran oleh masyarakat Maluku. Tari Cakalele biasanya dibawakan oleh 30 orang penari yang terdiri dari wanita dan laki-laki. Kostum penari laki-laki lebih dominan dengan warna kuning.

Sebagai tarian perang, tentu saja dalam membawakan Tari Cakalele penari membawa alat perang.Penari laki-laki biasanya membawa parang di tangan kanannya dan tameng di tangan kiri. Sedangkan untuk penari wanita, mereka mengenakan pakaian warna putih dengan membawa sapu tangan di kedua tangannya.


Alat musik yang mengiringi Tari Cakalele adalah alat musik tifa, drum, flute, keloko, fu, totoruga, toto buang, dan bia. Sebagai tarian kebesaran masyarakat Maluku, tari ini mengandung banyak makna. Diantaranya adalah pemakaian warna merah yang mengandung makna kepahlawanan dan keberanian masyarakat Maluku dalam menghadapi perang (melawan Belanda saat itu) untuk mempertahankan tanah dan negeri addat Maluku. Pemakaian parang dalam tari Cakalele melambangkan harga diri dan martabat masyarakat Maluku yang selalu di hati dan akan dijaga hingga mati. Serta tameng yang melambangkan protes masyarakat Maluku yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah.

Ketika Tari Cakalele ditampilkan, terkadang masyarakat Maluku percaya bahwa arwah leluhur masuk ke dalam raga para penari, dan kehadiran arwah leluhur tersebut biasanya hanya dapat diasakan oleh penduduk asli Maluku (Suku Alifuru, Suku Furu-Aru, Suku Buru, dan Suku Rana).

Suku Piliang dari Minangkabau



Suku Piliang dari Minangkabau



Bahasa

Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.

Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab,Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawidalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.

Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga menggunakan Bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau.

Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia itu.


Sistem Pengetahuan dan teknologi
Masyarakat akademik adalah masyarakat yang dalam berbagai kegiatan sosial budayanya menggunakan berbagai macam penanda keilmuan, misalnya;penggunaan angka-angka, dan penggunaan bahasa.Dan menurut kajian sosiologi, disebutkan bahwa masyarakat demikian adalah masyarakat yang berpikir pragmatis, egaliter dan metropolis.Artinya, mereka terbuka menerima sesuatu yang baru tanpa kehilangan identitas dirinya. Berdasarkan kajian sosio-lingustik dan sosiologi tersebut, masyarakat Minangkabau secara umum dapat dikatakan sebagai masyarakat akademis.

Beberapa indikasi untuk itu adalah sebagai berikut :

1)      Penggunaan angka-angka.

Angka-angka bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya sebagai penghitung dan pembatas sebuah bilangan atau penjumlahan, tetapi sekaligus juga sebagai pembedamyang satu dengan yang lain.Orang Minang mengenal sistim perimbangan dengan angka-angka yang genap; dua, empat, delapan, duapuluh dstnya.Bilangan empat merupakan perimbangan antara dua dan dua. Hal ini banyak ditemukan dalam sistem adat dan bahasa yang mereka pakai sampai sekarang; koto nan ampek (untuk tempat), urang nan ampek (untuk fungsi manusia), kato nan ampek (untuk bahasa dan hukum), indak tahu dinan ampek (untuk etika dan moral), sahabat nan ampek (untuk agama), langkah ampek (untuk silat), pakok ampek (untuk musik, saluang), dan banyak lagi.Sesuatu yang empat terdiri dari suatu keseimbangan 2 dan 2. Siang dan malam akan berimbang dan pagi dan sore.Hilir dan mudik berimbang dengan ateh dan baruah.

2)      Dalam penggunaan bahasa

Dalam sistim komunikasi, diplomasi, perundingan dan pembicaraan umum,masyarakatMinangkabau lebih mementingkan kesamaan pengertian untuk setiap kata (vocabulary). Mereka menyadari, bila pengertian untuk satu kata berbeda untuk masing-masing pihak yang sedang berkomunikasi apalagi dalam suatu perundingan, akan dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan pengertian, maksud dan tujuan.  Hal semacam itu dapat disimak dalam pidato-pidato adat atau pasambahan. Setiap kata selalu diberikan batasan yang jelas. Seperti misalnya, orang Minang tidak mengenal kata biru dalam kamus bahasanya, mereka mengenal kata hijau.

Untuk biru laut, mereka harus menjelaskan dengan sebutan “ijau lauik”, hijau seperti warna laut, ijau daun (untuk warna daun), ijau pucuak (untuk warna hijau muda), dsbnya. Memberikan batasan yang jelas terhadap suatu kata, dalam kehidupan masyarakat modern ditemukan saat mereka menyiapkan naskah perundang-undangan, perjanjian-perjianjian, pernyataan-pernyataan, kertas kerja ilmiah.


Sistem Organisasi Sosial

Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :

1.        Sistem Kelarasan Koto Piliang
2.        Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3.        Sistem Kelarasan Panjang

Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.

o   Sistem Kelarasan Koto Piliang

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

o   Sistem Kelarasan Bodi Caniago

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.

o   Sistem Kelarasan Panjang

Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh di atas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam negara yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.Namun dewasa ini semua sistem adat di atas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.


Sistem peralatan hidup
  • Rumah adat Minangkabau
  • Description: https://putrahermanto.files.wordpress.com/2010/09/minangkabau.jpg?w=600&h=398
Rumah Gadang atau Rumah Godang adalag nama untuk rumah untuk rumah adat minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan anama Rumah Bagonjongatau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung. Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandailanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruanganjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara. 

Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah suraukaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.
  • Makanan Khas Minangkabau
Rendang daging adalah masakan tradisional bersantan dengan daging sapi sebagai bahan utamanya. Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia ini sangat digemari di semua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Selain daging sapi, rendang juga menggunakan kelapa(karambia), dan campuran dari berbagai bumbu khas Indonesia di antaranya Cabai (lado), lengkuas, serai, bawang dan aneka bumbu lainnya yang biasanya disebut sebagai (Pemasak). Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatra Barat yaitumusyawarah.
  • Senjata Khas Minangkabau
Gambar di sebelah ini adalah kerambit Minang. Kerambit merupakan jenis senjata asli Minangkabau Sumatera Barat, termasuk senjata khas andalan yang sangat berbahaya. Dalam bahasa Minangkabau disebut “kurambik”.

Pada masa dulu, permainan senjata kerambit di Minangkabau hanya diwarisi oleh para Datuk atau kalangan Raja, bukan sembarangan orang boleh menguasai permainan nie yg dianggap rahsia dan hanya utk kalangan tertentu saja.

Dalam kategori senjata genggam paling berbahaya, kerambit menduduki tempat kedua sebagai senjata maut yang membawa instant death selepas pistol. Sabitan senjata kerambit bila terkena tubuh lawan, nampak dari luar macam luka siatan kecik, tapi bisanya yang berada dalam bahagian badan boleh menyebabkan maut akibat urat2 yang terputus. Kalau terkena perut, usus akan terpotong atau terkelar di dlm. Terdapat 2 jenis kerambit, yaitu kerambit jantan dan kerambit betina. Senjata kerambit jantan bentuknya besar (selalunya diguna oleh kaum lelaki Minang), sedangkan yang betina bentuknya kecil dengan hujung gagang berlubang (selalunya diguna oleh kaum wanita Minang). 

Lubang nie sebagai tempat jari telunjuk mencakam senjata. Keistimewaan dari senjata ini adalah oleh karena bentuknya yang bengkok dan tajam, senjata kerambit ini susah nak dipatahkan. Kerambit betina mudah disorok dalam tangan atau dalam sanggul rambut tanpa dilihat oleh pihak lawan.

Sistem mata pencaharian 

Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti JakartaBandung,PekanbaruMedanBatamPalembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura


Sistem religi atau keagamaan di Minangkabau       
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut denganrandai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegorimetafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.  Selanjutnya, alat musik dan makanan khas yang dimiliki oleh Minangkabau yaitu saluang dan sate padang .

Zack Tabudlo - Give Me Your Forever Lyrics

  Do you remember When we were young you were always with your friends Wanted to grab your hand and run away from them I knew that it was ti...