Pilkada
Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan
secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi
syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil
kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:
Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi
Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten
Wali kota dan wakil wali kota untuk kota
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi
Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh
(Panwaslih Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta
pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal
menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Meminjam istilah aparat keamanan dalam melihat suatu
masalah, amuk massa atau kerusuhan di negeri ini sudah memasuki tahap
"siaga satu". Pelbagai hal bisa menjadi pemicu, mulai dari
ketersinggungan anak muda yang kemudian menyeret temannya masuk arena konflik,
perkelahian antar-kampung di pedesaan atau antarlorong di kota besar, sampai
pada pemaksaan kehendak dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berujung
pada kerusuhan massa. Penyebab kerusuhan itu pun kadang hanya soal sepele yang
kemudian dibungkus oleh aksi provokasi untuk kepentingan tertentu.
Kerusuhan massa yang paling mutakhir terjadi di Kota Polopo,
Sulawesi Selatan, Minggu (31/3) lalu akibat ketidakpuasan atas hasil
penghitungan suara KPU-Kota dalam pemilihan wali kota putaran kedua. Massa
begitu leluasa merusak dan membakar kantor pemerintah seperti kantor wali kota,
kantor camat, kantor KPU-Kota, kantor Partai Golkar, sejumlah kendaraan
bermotor, bahkan kantor media cetak Palopo Pos. Massa yang mengamuk itu diduga
berasal dari pendukung fanatik pasangan calon Haidir Basir-Thamrin Djufri yang
dinyatakan kalah.
Akibat dilempari bom molotov (bom botol), bangunan-bangunan
itu ludes terbakar lantaran massa yang mengamuk menghalangi mobil pemadam ke
bakaran untuk sampai di lokasi kebakaran. Aparat pemadam kebakaran baru bisa
menghentikan kebakaran setelah semuanya ludes. Timbul pertanyaan, ke mana
polisi dan aparat keamanan lainnya? Tetapi, menurut polisi, jumlah massa jauh
lebih besar dari aparat keaamanan, apalagi sebagian besar pengamanan berfokus
di kantor KPU-Kota, tempat penghitungan suara dilakukan.
Watak Anarkis
Kerusuhan massa dalam pelaksanaan pilkada sudah tak
terhitung. Enam hari sebelum kerusuhan di Palopo, sekelompok massa yang
dipimpin langsung oleh calon Wali Kota Gorontalo incunbent, Adhan Dhambea, menyerang
dan memaksa masuk studio siar TVRI Gorontalo (Senin, 25/3/2013). Celakanya,
penyerangan itu justru dilakukan bersama Ketua DPRD Kota Gorontalo karena
kecewa atas pemberitaan TVRI Gorontalo soal keputusan PT-TUN Manado. Ia tidak
diloloskan oleh KPU-Kota Gorontalo karena terindikasi berijazah palsu.
Kisruh dalam pilkada menunjukkan ketidakdewasaan elite
politik dan massa pendukung dalam berdemokrasi liberal. Para pasangan calon,
tim sukses, dan pendukungnya belum siap menerima hasil pilkada langsung bahwa
pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Jika pun ada persoalan dan
kecurangan, disiapkan jalur untuk menyelesaikannya. Pelanggaran pemilu ada
jalurnya melalui panitia pengawas (panwas), pelanggaran administrasi oleh
KPU-Daerah, dan kesalahan penghitungan suara diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi, dan jika pidana murni ditangani oleh kepolisian.
Berbagai amuk massa dalam pilkada, lagi-lagi polisi
dijadikan "kambing hitam" karena dianggap tidak punya sensitivitas
dan antisipatif atas kemungkinan terjadinya konflik. Kinerja aparat intelijen
dan kepolisian selaku aparat negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat pun patut dipertanyakan sejumlah kalangan. Pengamanan pilkada
seperti mengurai benang kusut, semakin diurai malah semakin kusut. Polisi
terkesan takut oleh jebakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sehingga merasa
ragu bertindak tegas (baca: keras).
Berkaca pada realitas dalam antisipasi keamanan, memang
tidak boleh selalu menyalahkan kepolisian. Sebab, kalau memang ada kelompok
massa yang berwatak anarkis akibat sudah terprovokasi tidak mau menerima hasil
pilkada, kerusuhan dan perusakan juga akan dilakukan meskipun polisinya banyak.
Malah, mereka akan melawan polisi jika berupaya menghalangi gerakannya lantaran
sudah didesain sebelumnya. Semuanya bermula karena elite politik dan kekuasaan
belum siap melaksanakan demokrasi langsung dalam memilih pemimpin.
Namun, bisa juga polisi disebut kecolongan karena tidak
mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerusuhan. Polisi terjebak pada putaran
pertama yang dianggap berjalan cukup aman. Terlepas dari itu, kecepatan
menangkap para pelaku pembakaran dan perusakan gedung patut diapresiasi. Yang
jelas, motif pelaku juga harus diungkap, apakah ada keterlibatan pasangan calon
dan tim suksesnya.
Ambisius
Kursi kekuasaan tidak lagi dipandang sebagai amanah,
melainkan prestise dan harga diri yang harus direbut, apa pun caranya. Para
pejabat di daerah begitu ambisius disertai fanatisme sempit dari pendukung
akibat iming-iming uang dan proyek setelah terpilih. Semuanya bercampur jadi
satu, sehingga massa begitu mudah terprovokasi mengikuti kehendak sang
"dalang". Mudahnya massa terprovokasi tidak terlepas dari peran
pasangan calon dan tim sukses. Pertentangan yang acapkali timbul justru lebih
sering dipicu oleh elite yang tidak mau menerima hasil dengan menyalahkan
penyelenggara dan pengawas pilkada.
Saya termasuk yang percaya kalau para "dalang"
seperti pasangan calon dan tim sukses mampu meredam massanya jika dia
menghendakinya. Ini terlihat dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, meski
ada riak tetapi saat pasangan calon dan tim sukses turun tangan, massa
pendukung bisa menahan diri dan proses pilkada berjalan damai.
Pernyataan Gubernur Sulawesi Selatan yang tidak menjamin
keamanan dan kedamaian terhadap delapan pemilihan bupati/walikota setelah
Palopo patut diantisipasi. Jangan sampai ditiru karena pada akhirnya rakyat di
daerah bersangkutan yang dirugikan. Lebih dari itu, sangat wajar jika muncul
gagasan meninjau ulang pemilihan langsung kepala daerah, termasuk maraknya
korupsi sebagai implikasi dari mahalnya harga kursi kepala daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar