Konteks perumusan kebijakan publik
Teori sistem yang telah kita bahas sebelumnya menyatakan
bahwa pembentukan kebijakan tidak dapat dipertimbangkan secara memadai bila
terpisah dari lingkunganya. Tuntutan tuntutan menyangkut tindakan tindakan
kebijakan timbul dari dalam lingkungan dan ditrasmisikan ke dalam sistem
politik. Seperti telah kita bahas sebelumnya, teori sistem menjelaskan bahwa
suatu kebijakan publik merupakan hasil dari interaksi dari berbagai subsistem
yang berada dalam sistem politik. Kebijakan publik dipandang sebagai tanggapan
dari suatu sistem politik terhadap tuntutan tuntutan yang timbul dari
lingkungan yang merupakan kondisi atau keadaan yang berada di luar batas batas
sistem politik. Kekuatan kekuatan yang timbul dari dalam lingkungan dan
memengaruhi sistem politik dipandang sebagai masukan masukan (inputs) bagi
sistem politik, sedangkan hasil yang dikeluarkan oleh sistem politik yang
merupakan tanggapan terhadap tuntutan tuntutan tadi dianggap sebagai keluaran
(outputs) dari sistem politik.
Sementara itu, pada saat yang sama lingkungan menempatkan
batas batas dan hambatan hambatan pada apa yang dilakukan oleh para pembentuk
kebijakan. Ada banyak hal yang termasuk ke dalam lingkungan politik, yakni
menyangkut karakteristik karakteristik geografis suatu wilayah, seperti
misalnya sumber sumber alam, cuaca, dan topografi; variabel variabel demografi,
seperti misalnya jumlah penduduk, distribusi umur, tempat tempat yang
berpenduduk jarang; budaya politik; struktur sosial dan sistem ekonomi. Selain
itu, bangsa bangsa lain menjadi lingkungan politik yang penting untuk kebijakan
luar negeri dan pertahanan. Dalam pembahasan ini budaya politik akan mendapat
perhatian karena budaya politik memegang peran penting dalam proses kebijakan
publik maupun dalam proses proses politik yang lain (anderson, 1979: 27-32).
Selain budaya politik, kondisi sosial dan ekonomi juga berpengaruh terhadap
perumusan kebijakan publik.
Budaya politik
Setiap masyarakat mempunyai budaya tertentu yang membedakan
nilai nilai dan gaya hidup anggota anggotanya dari anggota anggota masyarakat
yang lain. Seorang ahli antropologi bernama clyde kluckhohn mendefinisikan
budaya sebagai keseluruhan cara hidup seseorang, warisan sosial yang diperoleh
inidividu dari kelompoknya. Definisi ini memberi penekanan yang luas pada sifat
budaya sebagai warisan sosial. Hal ini berarti bahwa suatu budaya merupakan
warisan sosial yang diturunkan secara turun terumun dari satu generasi ke
generasi beriktunya. Dengan demikian, definisi ini tidak menyebutkan
bagaimanakah suatu budaya diciptakan pada awalnya dan bagaimana budaya tersebut
kemudian menjadi milik komunitas atau kelompok masyarakat tertentu. Definisi
lainnya mengenai budaya menyatakan bahwa budaya merupakan bagian dari
lingkungan yang diciptakan oleh manusia. Definisi ini lebih abstrak
dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh kluchohn. Namun demikian,
bila kita mencermati dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli dan
untuk kepentingan pembahasan kali ini, kebanyakan ilmuwan sosial nampaknya
menyetujui jika budaya menentukan atau memengaruhi tindakan sosial, tetapi
tidak sama sekali menentukannya. Budaya hanya merupakan salah satu saja dari
banyak faktor yang memengaruhi tindakan atau perilaku manusia.
Budaya masyarakat secara umum dapat dinamakan sebagai budaya
politik yang menyangkut nilai nilai, kepercayaan kepercayaan, dan tingkah laku
yang dijadikan pegangan secara luas mengenai apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah dan bagaimana pemerintah harus melakukan pekerjaannya. Selain itu,
budaya juga menyangkut hubungan antara warganegara dengan pemerintahnya. Oleh
karena budaya diperoleh individu dari kelompoknya, maka budaya tersebut
diteruskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi sehingga
individu mendapat banyak pengalaman dari orangtua, kawan, guru, para pemimpin
politik serta sumber sumber lain yang relevan. Individu individu ini belajar
tentang nilai nilai, kepercayaan kepercayaan serta tingkah laku politik.
Kemudian, budaya politik yang diperoleh individu tersebut menjadi bagian dari
pembentukan psikologisnya dan dimanfestasikan dalam perilakunya. Dan suatu
masyarakat tertentu barangkali mempunyai subbudaya tertentu yang berbeda satu
dengan yang lain seperti yang terjadi di amerika serikat. Di negara ini
terdapat perbedaan budaya antara utara dan selatan, antara masyarakat berkulit
hitam dengan masyarakat berkulit putih. Di indonesia dimana komposisi
wilayahnya terdiri dari kepulauan dengan adat dan budayanya masing masing, maka
keragaman budaya ini semakin nampak kita lihat. Orang orang jawa akan berbeda
budayanya dengan orang orang padang dan orang orang papua akan mempunyai
perbedaan budaya dengan orang orang aceh, dan lain sebagainya.
Identifikasi yang dilakukan oleh seorang ilmuwan politik
bernama daniel D. elazar yang mengkaji budaya politik yang berkembang di amerika
serikat menyatakan bahwa setidaknya ada tiga tipe budaya politik, yakni budaya
politik moralistik, individualistik, dan tradisionalistik. Menurut elazar,
budaya politik individualistik menekankan masalah masalah pribadi dan memandang
pemerintah sebagai sarana yang bermanfaat untuk melakukan apa yang diinginkan
oleh rakyat. Pada tipe budaya politik seperti ini, para politisi tertarik untuk
menduduki jabatan jabatan publik sebagai sarana untuk mengontrol ganjaran
ganjaran pemerintah dilihat sebagai mekanisme untuk memerhatikan kepentingan
publik. Oleh karenanya, campur tangan pemerintah yang besar dalam bidang
ekonomi dapat diterima. Selain itu, pemerintah juga cenderung memberi perhatian
yang besar terhadap isu isu kebijakan publik. Hal ini tentu sangat berbeda
dengan budaya individualistik dimana pemerintah dianggap sebagai sarana yang
harus melindungi kepentingan dan hak milik pribadi.
Berbeda dengan dua tipe budaya politik yang telah disebutkan
di atas, budaya politik paternalistik mempunyai pandangan paternalistik dan
elitis terhadap pemerintah. Di samping itu, mereka juga menghendaki pemerintah
mampu memelihara tertib sosial yang ada. Dalam tipe budaya paternalistik,
kekuasaan politik yang sebenarnya berpusat pada lapisan kecil masyarakat,
sedangkan warganegara secara relatif diharapkan untuk tidak aktif dalam
kegiatan politik. Pandangan ini barangkali lebih mirip dengan teori elit
seperti yang telah kita bahas sebelumnya.
Sementara itu, robin williams mengidentifikasi sejumlah
‘’nilai utama’’ dalam suatu masyarakat. Menurut williams, orientasi nilai utama
tersebut mencakup kebebasan individu, kesamaan, kemajuan, efisiensi dan
kepraktisan. Nilai seperti ini bersama dengan nilai nilai yang lain, misalnya
nilai nilai demokrasi, individualisme dan humanitarisme mempunyai arti penting
bagi pembentukan kebijakan. Misalnya, dalam mengatur kegiatan ekonomi, bangsa
amerika lebih cenderung praktis dan pragmatis, lebih menekankan pada
penyelesaian masalah masalah tertentu saat ini dibandingkan berorientasi untuk
masa yang akan datang. Sementara itu, hak individu mendapatkan pengakuan yang
lebih luas dan karenanya pemerintah harus mampu menjamin hak tersebut bisa
dilaksanakan. Hal ini terjadi karena nilai nilai individualisme lebih menjadi
panutan di negara Amerika Serikat dibandingkan dengan nilai nilai yang lebih
bersifat komunal. Oleh karenanya, suatu orientasi kebijakan mungkin akan
berbeda bagi bangsa bangsa yang lebih menganut pandangan komunal apabila
dibandingkan dengan suatu bangsa yang menganut pandangan individualistik.
Perbedaan perbedaan dalam kebijakan publik dan pembentukan
kebijakan di berbagai negara dapat dijelaskan paling tidak secara parsial
dengan menggunakan konsep budaya politik ini, seperti yang telah kita contohkan
di atas. Contoh yang lain adalah menyangkut program program pemeliharaan
kesehatan masyarakat. Di negara negara eropa barat, program program ini lebih
mendapat perhatian yang luas dibandingkan di amerika serikat. Hal ini terjadi
karena sebagian besar masyarakat di eropa barat lebih mempunyai penerimaan
terhadap program program seperti itu dibandingkan di amerika serikat. Sementara
itu, pandangan pandangan demokrasi sosialis juga lebih berkembang di negara
negara tersebut dibandingkan dengan di amerika serikat. Hal ini pulalah yang
mengakibatkan orang orang inggris misalnya, lebih banyak menerima kepemilikan
pemerintah menyangkut perusahaan dan industri, suatu keadaan yang berkebalikan
bila dibandingkan dengan warganegara amerika serikat.
Sementara itu, karl deutch menyatakan bahwa orientasi orang
berdasarkan waktu, yakni pandangan pandangan orang tentang masa lalu, sekarang
dan masa yang akan datang akan mempuyai implikasi bagi pembentukan kebijakan.
Suatu budaya politik yang lebih berorientasi pada masal lalu daripada masa
sekarang atau untuk masa yang akan datang mungkin mendorong para pembentuk
kebijakan lebih berorientasi pada
pemeliharaan karya karya besar dibandingkan melakukan pembaharuan pembaharuan.
Untuk menjelaskan hal ini, karl deutcsh merujuk pada pengamatan yang ia lakukan
terhadap dua negara yang mempunyai kultur politik yang berbeda dilihat dari
orientasi waktu, yakni inggris dan amerika serikat. Karl deutcsh menyatakan
bahwa di inggris undang undang tentang pensiun telah ditetapkan sejak tahun
1908, akan tetapi negara ini baru memperluas secara penting pendidikan tinggi
masyarakatnya tahun 1960. Di amerika serikat yang terjadi malah sebaliknya.
Deutcsh mencatat bahwa di amerik serikat dengan budaya yang lebih berorientasi
pada masa depan, undang undang menyangkut pengembangan pendidikan tinggi telah
ditetapkan sejak tahun 1862 yang memberikan bantuan tanah terhadap universitas
universitas dan dalam tahun 1935 untuk jaminan sosial.
Pembedayaan budaya politik yang lain diberikan oleh almond
dan verba. Kedua ahli ini membedakan budaya politik ke dalam tiga wilayah
kategori, yakni budaya politik parokial, subjek dan partisipan. Dalam budaya
politik parokial, warga negara mempunyai kesadaran yang rendah terhadap sistem
politik secara keseluruhan baik menyangkut proses input, proses output, maupun
warganegara sebagai partisipan politik. Individu individu yang hidup dalam
budaya politik seperti ini tidak mengharapkan apapun dalam sistem politik.
Budaya politik parokial ini dapat kita jumpai di beberapa masyarakat afrika dan
italia. Di dalam budaya politik subjek yang dapat kita jumpai di jerman,
masyarakat atau warganegara mempunyai orientasi terhadap sistem politik
menyangkut proses output. Mereka mempunyai kesadaran yang rendah terhadap
proses input atau sebagai pemeran sera. Dengan demikian, para warganegara ini
cenderung pasif. Sedangkan dalam budaya politik partisipan yang dapat dijumpai
dalam masyarakat amerika serikat, warganegara mempunyai kesadaran politik dan
informasi yang tinggi dan mempunyai orientasi yang jelas terhadap sistem
politik secara keseluruhan, baik menyangkut proses input, proses output, maupun
peran serta mereka sebagai warganegara.
Kondisi sosial-ekonomi
Kondisi sosial ekonomi juga merupakan variabel yang penting
dalam proses perumusan kebijakan. Oleh karena itu, para aktor yang terlibat
dalam perumusan kebijakan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari situasi atau
kondisi sosial ekonomi yang melingkupinya. Penggunaan istilah ini bersama sama
karena dalam banyak kasus adalah mustahil untuk memisahkan faktor faktor
ekonomi dan sosial. Biasanya kedua variabel ini hadir secara bersama sama dalam
kondisi tertentu. Misalnya, kebangkrutan negara akibat krisis ekonomi yang
terjadi di indonesia belakangan ini telah menciptakan kerawanan sosial, seperti
misalnya tingkat kriminalitas yang semakin tinggi. Kerawanan sosial tersebut
dipicu oleh semakin tingginya angka pengangguran dan kemiskinan karena
banyaknya kasus PHK dan langkanya lapangan pekerjaan. Sementara di sisi yang
lain, kegagalan ekonomi yang berakibat pada naiknya harga harga juga bisa
menjadi faktor pendorong tingginya angka kriminalitas tersebut.
Schattschneider menyatakan bahwa kebijakan publik dapat
dilihat sebagai konflik antara berbagai kelompok dalam masyarakat yang berbeda,
pegawai dan pribadi, perbedaan kepemilikan kepentingan dan hasrat. Dalam
masyarakat modern, maka sumber konflik yang terbesar adalah sumber sumber
ekonomi atau kegiatan ekonomi. Seperti yang sering terjadi di indonesia adalah
antara serikat serikat buruh dengan pengusaha, para petani dengan penjual
pupuk, dan antar pengusaha itu sendiri. Kelompok kelompok yang dirugikan secara
ekonomi ini akan meminta pemerintah untuk melindungi kelompok yang dirugikan
tersebut. Misalnya, kebijakan pemerintah mengenai upah minimum regional mungkin
didorong oleh desakan desakan yang dilakukan oleh kaum buruh yang merasa selama
ini upah yang mereka terima sangat rendah sehingga tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup mereka sehari hari.