KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Manusia Menurut Pandangan Islam
Allah SWT menciptakan struktur kepribadian manusia dalam
bentuk potensial. Struktur itu tidak secara otomatis bernilai baik ataupun
buruk, sebelum manusia berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi struktur sangat
tergantung pada pilihan manusia, yang mana pilihannya itu akan dimintai
pertanggungjawaban diakhirat kelak. Upaya manusia untuk memilih dan
mengaktualisasikan potensi itu memiliki dinamika proses, seiring dengan
variabel-variabel yang mempengaruhi.
1. Manusia Adalah Makhluk Allah
Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau
hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Robbul
‘Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai ketergantungan
(dependent) kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Sebagai
makhluk, manusia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa
menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya.
Dalam Al-Qur’an, Surat at-Tin: 4, Allah SWT berfirman:
“sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sangat baik (sempurna)”.
Manusia adalah makhluk Allah, ciptaan Allah, dan secara
kodrati merupakan makhluk beragama atau pengabdi Allah, seperti tercermin dalam
sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Muslim).
Sesuai dengan fitrahnya tersebut, manusia bertugas untuk
mengabdi kepada Allah, seperti difirmankan Allah sebagai berikut.
(Q.S. Adz Dzariyat: 56).
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka
beribadah kepada-Ku”
2. Manusia Adalah Khalifah di Muka Bumi
Hal ini berarti, manusia berdasarkan fitrahnya adalah
makhluk sosial yang bersifat altruis (mementingkan/membantu orang lain).
Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan untuk
bersosialisasi, berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang
lain atau lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau
tanggung jawab (responsibility) untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif
dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera; dan
berupaya mencegah (preventif) terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan
perusakan lingkungan hidup (regional-global).
Dalam Surat Al-Baqarah: 30 difirmankan sebagai berikut:
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
sesungguhnya aku menciptakan khalifah di muka bumi”.
Selanjutnya dalam Surat Hud: 61 difirmankan:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a
hamba-Nya)”
Manusia menciptakan kebudayaan dengan segala unsurnya (ilmu,
teknologi, seni, dan sebagainya) agar mampu mengelola alam itu dengan
sebaik-baiknya. Manusia menurut islam merupakan “khalifah di muka bumi”.
Artinya manusia berfungsi sebagai pengelola alam dan memakmurkannya. Ini
tersurat dan tersirat dari firman Allah sebagai berikut. (Q.S. Fatir: 39).
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi (Q.S.
Fatir: 39). Selanjutnya Allah berfirman: Dan Dia menundukkan untukmu apa-apa
yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat
dari-Nya (Q.S. Al-Jasiyah: 3).
3. Manusia adalah Makhluk yang Mempunyai Fitrah Beragama
Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk
menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus
menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan perilakunya.
Allah SWT berfirman: “.......bukanlah Aku ini Tuhanmu?
Mereka menjawab, ya kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. (Al-‘Araf:
172).
4. Manusia Berpotensi Baik (Takwa) dan Buruk (Fujur)
Manusia dalam hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah
perkembangan, yaitu takwa, sifat positif (beriman dan beramal shaleh) dan yang
fujur, sifat negatif (musyrik, kufur, dan berbuat ma’syiat/jahat/buruk/dzalim).
Dua kutub kekuatan ini, saling mempengaruhi. Kutub pertama mendorong individu
untuk berperilaku yang normatif (merujuk nilai-nilai kebenaran), dan Kutub lain
mendorong individu untuk berperilaku secar inpulsif (dorongan naluriah,
instinktif, hawa nafsu). Dengan demikian, mmanusia dalam hidupnya senantiasa
dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah atau baik-buruk.
Dalam Surat Asy-Syamsu: 8-10, difirmankan:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan
takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang
yang mengotori jiwanya”.
5. Manusia Memiliki Kebebasan Memilih (Free Choice)
Dalam surat Ar-Ra’du: 11, Allah berfirman:
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang dimiliki
(termasuk dirinya) suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah (berinisiatif
merekayasa) dirinya sendiri”.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih kehidupannya, apakah
mau beriman atau kufur kepada Allah. Apakah manusia akan memilih jalan hidup
yang sesuai dengan ajaran agama atau memperturutkan hawa nafsunya. Dalam hal
ini, manusia mempunyai kemampuan untuk berupaya menyelaraskan arah perkembangan
dirinya dengan tuntutan normatif, nilai-nilai kebenaran, yang dapat memberikan
kontribusi atau nilai manfaat bagi kesejahteraan umat manusia; juga memiliki
kemampuan untuk menjalani kehidupan yang berseberangan dengan nilai-nilai
agama, sehingga menimbulkan suasana kehidupan (personal-sosial) yang chaos, anarki,
destruktif atau tidak nyaman.[1]
B. Definisi Kepribadian Islam
1. Makna Etimologi Kepribadian Islam
Personality berasal dari kata “person” yang secara bahasa
memiliki arti:
(1) an individual human being (sosok manusia sebagai individu);
(2) a common individual (individu secara umum);
(3) a living human body (orang
yang hidup);
(4) self (pribadi); personal existence or identity (eksistensi
atau identitas pribadi); dan
(6) distinctive personal character (kekhususan
karakter individu).
Sedangkan dalam bahasa Arab , pengertian etimologis
kepribadian dapat dilihat dari pengertian dari term-term pandangannya. Seperti
huwiyah, aniyah, dzattiyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri.
Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata
syakhshiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri
.[2] Oleh sebab itu dirasa
perlu untuk menjelaskan masing-masing term tersebut dan kemudian memilih satu
diantaranya untuk mewakili padanan term personality.
[3] Pertengahan abad XIX didakwahkan sebagai abad kelahiran
psikologi kepribadian kontemporer didunia Barat. Saat inilah Psikologi
Kepribadian (dalam arti, personologi) dinobatkan sebagai disiplin ilmu yang
mandiri. Bersamaan abd ini pula, umat Islam telah abngun dari tidur panjangnya.
Mereka mencoba berbenah diri untuk mengejar ketinggalan yang ada, khususnya
dibidang sains. Oleh keadaan yang masih transisi inilah maka umat Islam kurang
berminat menggali khazanahnya sendiri. Mereka lebih muncul kemudian adalah
diskursus-diskursus keilmuan Islam modern (baik filsafat maupun psikologi)
lebih akrab menggunakan istilah syakhshiyyah (personality) dari pada khuluq
(karakter). Pemilihan term ini bukan tidak beralasan bahkan suatu kesengajaan.
Tujuan utamanya adalah agar diskursus ilmu keislaman lebih dikenal oleh dunia
lain. Isi dan substansinya mencerminkan nilai-nilai universal Islam, sementara
simbol dan “bungkus”nya mengadopsi dari Barat.
Perubahan semantik ini apakah tidak mengubah konsep aslinya,
sedangkan kedua term itu jelas-jelas dibedakan dalam diskursus psikologi.
Terlebih lagi jika term itu dihadapkan pada orang awam, apakah hal itu tidak
semakin memasukkannya kedalam “liang biawak”.
Nabi Adam a.s.. pertama kali diajarjakn ilmu oleh Allah SWT
hanya dengan asma’ (nama-nama) (QS Al Baqarah[2]:30). Bukankah hal ini
menunjukkan pentingnya sebuah nama? Nama identik dengan terminologi, dan
terminilogi ekuivalen dengan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting
dari akal budi manusia. Melalui sebuah nama seringkali seseorang menemukan
gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan siapa yang
diberi nama itu. Nama menunjukkan identitas dan eksis-nya sesuatu.[4]
Terlepas dari segala kelemahan dan kelebihan masing-masing
term tersebut, penulisan dalam konteks ini lebih cenderung menggunakan istilah
syakhshiyyah (lengkapnya syakhshiyyah islamiyah) untuk padanan personality.
Selain secara psikologis sudah popular, term ini mencerminkan makna kepribadian
lahir dan batin. Ia tidak dipahami kecuali dengan makna kepribadian. Sedangkan
khuluq memiliki ambiguitas makna, dan secara psikologis kurang popular didalam
diskursus komtemporer. Pemilihan term ini hanya berkaitan dengan “penyebutan”
bukan berkaitan dengan substansi konseptulnya.
2. Makna Terminologi Kepribadian Islam
Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki
banyak definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan
filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-konsep
empiris dan filosofis disini meliputi dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan,
landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan metodologi yang dipakai
rumus. Oleh sebab itu, tidak satupun definisi yang subtantif kepribadian dapat
diberlakukan secara umum, sebab masing-masing definisi dilatar belakangi oleh
konsep-konsep empiris dan filosofis yang berbeda-beda. Dengan begitu tidak
berkelebihan jika Allport-- dalam studi kepustakaannya—menemukan sejumlah 50
definisi mengeinai kepribadian yang berbeda-beda yangdigolongkan kedalam
sejumlah kategori.
Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara
sederhana dapat dirumuskan dengan definisi “what a man really is” (manusian
sebagai mana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau kodratnya,
yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Definisi yang luas dapat berpijak pada
struktur kepribadian, yaitu integrasi sistem kalbu, akal dan hawa nafsu manusia
yang menimbulkan tingkah laku. “definisi ini sebagai bandingan dengan definisi
yang dikemukakan oleh para psikolog psikoanalitik seperti Sigmun Freud[5] dan
Cherly Gustav Jung[6].
Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai
strukturbiologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis
kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang merupakan
struktur psikofisik kepribadain manusia. Struktur nafsani memiliki tiga daya,
yaitu (1) qolbu yang memiliki fitrah keTuhanan (ilahiyah) sebagai aspek
supra—kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya emosi (rasa); (2) akal yang
memiliki fitrah kemanusiaan (isaniah) sebagai aspek kesadaran manusia yang
berfungsi sebagai daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah
kehewanan (hayawaniyyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang
berfungsi sebagai daya konasi (karsa).
Jadi, dari sudut tingkatnya maka kepribadain itu merupakan
integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (KeTuhanan), kesadaran
(kemanusiaan), dan pra—atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang dari sudut
fungsinya, kepribadain merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan
konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb) maupun
tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb).
3. Makna Psikologi Kepribadian Islam
Perumusan makna psikologi kepribadian Islam memiliki arti
bagaimana Islam mendefinisikan kepribadian dari sudut pandang psikologis. Frame
kajiannya tetap pada studi Islam yang menelaah terhadap fenomena perilaku
manusia dari sudut pandang psikologis, sebab satu-satunya wacana yang eksis
hanyalah Islam, sementara psikologi disini hanya satu pendekatan studi dalam
studi Islam.
Berdasarkan pengertian kepribadaian di atas maka yang
dimaksud dengan Psikologi Kepribadain Islam adalah “studi Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia berdasarkan pendekatan psikologis dalam
relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada sang Khalik-Nya agar dapat
meningkatkan kualitas hisup di dunia dan akhirat.” Rumusan tersebut memiliki
lima kompenen dasar yakni sebagai berikut.
Pertama, Studi Islam. Psikologi Kepribadian Islam merupakan
salah satu kajian dalam studi keislaman, bukan bagian dari studi (atau cabang)
psikologi. Sebagai disiplin ilmu keislaman, ia memiliki kedudukan yang sama
dengan disiplin keislaman yang lain, seperti teologi Islam, hukum Islam,
ekonomi Islam, kebudayaan Islam, polotik Islam, dan sebaginya. Penggunaan term
Islam disini memiliki arti corak, pola pikir, atau aliran dalam
psikologikepribadian, yang memiliki eksistensi unik dibading dengan aliran
psikologi kepribadian lain. Keunikannya baik dari aspek ontologi, epistimologi
maupun aksiologinya. Studi Islam di sini juga memiliki arti bahwa bangunan
kepribadain didasarkan atas Alquran, al-Sunnah,khazanah Islam sendiri, bukan
dari bangunan kepribadain Barat.
Kedua, yang berhubungan dengan tingkah laku, manusia.
Psikologi Kepribadain Islam mempelajari tingkah laku manusia. Dalam bentuk
potensial, seluruh tingkah laku manusiatelah memilki takdir atau sunnatullah
yang ditetapkan oleh Tuhan, meskipun takdir yang dimaksud memiliki banyak
pilihan. Namun dalam bentuk aktual, manusia diberi kebebasan untuk
mengekspresikannya, sehingga menimbulkan dinamika tingkah laku. Setiap tingkah
laku memilki citra (image) dan keunikan tersendiri sesuai sesuai apa yang
terdapat pada pelakunya. Tingkah laku disini bisa berupatingkah laku lahir
maupun tingkah laku batin atau kedua-duanya. Tingkah laku lahir ada yang
mencerminkan tingkah laku batinnya dan ada juga yang berbeda. Baik mencerminkan
atau tidak semuanya disebut dengan tingkah laku.
Ketiga, berdasarkan pendekatan psikolohid. Studi tentang
kepribadian dapat didekati dengan beberapa pendekatan, misalnya filsafat,
psikologi, antropologi, dan sebagainya. Psikologi Kepribadain Islam merupaka\n
studi kepribadain Islam yang dipandang dari sudut psikologi. Studi ini
setidak-tidaknya menggambarkan apa dan bagaimana tingkah laku manusia menurut
pandangan Islam yang ditimbulkan dari jiwanya.
Kempat, dalam relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada
Sang Khalik. Psikologi Kepribadain Islam mengkaji tingkah laku manusia dengan
berpijak pada fungsi kehidupan manusia. Manusia adalah sebagai mandataris Sang
Khalik untuk menjadai khalifah dimuka bumi. Dalam bertingkah laku, manusia
selain diberi potensi fitrah, juga memiliki relasi sesamanya dan dikaruniai
alam dan isinya untuk dikelola yang baik. Oleh karena kedudukan ini maka setiap
realisasi tingkah laku manusia merupakan cerminan ibadah, baik berkaitang
dengan Tuhan, diri sendiri, sesamanya, serta pada alam semesta.
Kelima, untuk meningkatkan kebahagiaan hidup didunia dan
akhirat. Psikologi kepribadian Islam syarat akan nilai, yang dapat
menghantarkan kebahagiaan hidup manusia. Kebahagian yang dimaksud tidak
terbatas pada kebahagiaan duniawi yang sifatnya temporer dan semu, tetapi juga
kebahgiaan ukhrowi yang sifatnya abadi dan hakiki. Pda aspek ini, Psikologi
Kepribadain Islam bukan sekedar memotret dan mengidentifikasi tingkah laku
(bicara apa adanya), melainkan juga mengungkap bagaimana seharusnya tingkah
laku itu. Tentunya dalam hal ini tidak terlepas norma-norma baik-buruk yang
telah ditetapka oleh Sang Khalik. Oleh karena tujuan ini maka studi Psikologi
Kepribadain Islam diharapkan memiliki implikasi penting dalam kehidupan
manusia.
SKEMA
Kepribadian dalam Psikologi Islam
C. Struktur Kepribadian Islam
Struktur kepribadian yang dimaksudkan disini adalah
aspek-aspek atau elemen-elemen yang terdapat pada diri manusia yang karenanya
kepribadiaannya terbentuk. Pemilihan aspek ini mengikuti pola yang dikemukakan
oleh Khayr al-Din al-Zarkali. Menurut al-Zarkali, bahwa studi tentang diri
manusia dapat dlihat melalui tiga sudut, yaitu:
1. Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan
sifat-sifat uniknya;
2. Jiwa (psikis); apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat
uniknya; dan
3. Jasad dan jiwa (psikofisik); berupa akhlak, perbuatan,
dan sebagainya.[7]
Ketiga kondisi tersebut dalam terminologi islam lebih
dikenal dengan term al-jasad, al-ruh, dan al-nafs. Jasad merupakan aspek
biologis atau fisik manusia, ruh merupakan aspek psikologis atau psikis
manusia, sedang nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang merupakan sinergi
antara jasad dan ruh.
1. Struktur Jisim
Jisim[8] adalah aspek diri manusia yang terdiri atas
struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding
dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Pada aspek ini, proses penciptaan
manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya
termasuk bagian dari alam fisikal. Setiap biotik-lahiriah memiliki unsur
materiah yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.
Sedangkan manusia merupakan makhluk biotik yang unsur-unsur pembentukan
materialnya bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut, sehingga
manusia disebut sebagai makhluk yang terbaik penciptaanya. Firman Allah SWT
dalam Q.S. Al-Tin [95]: 4 disebutkan: Sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
2. Struktur Ruh
Keunikan esensial psikologi kepribadian islam dengan
psikologi kepribadian yang lain adalah masalah strutur ruh. Karena ruh, seluruh
bangunan kepribadian manusia dalam islamm menjadi khas. Ruh merupakan substansi
(jawhar) psikologis manusia yang menjadi esensi keberadaannya, baik di dunia
ataupun di akhirat. Hal itu berbeda dengan psikologi kepribadian barat yang
hanya menerjemahkan ruh dengan spirit yang accident (‘aradh). Sebagai substansi
yang esensial, ruh membutuhkkan jasad untuk aktualisasi diiri, bukan
sebaliknya. Ruh yang menjadi perbedaan antara eksistensi manusia dengan makhluk
lain[9].
3. Struktur Nafs
Ahli jiwa-falsafi memfokuskan perhatiannya pada akal,
sehingga konsep pembagian jiwanya hanya mencakup daya kognisi dan daya konasi.
Sedang ahli jiwa-tasawufi lebih memfokuskan perhatiannya pada cita rasa
(dzawq), sehingga konsep pembagian jiwanya hanya mencakup daya emosi dan daya
konasi. Sementara itu, ahli jiwa falsafi-tasawufi mengungkap tiga daya yang
terdapat pada jiwa manusia, yaituu kognisi, konasi, dan emosi. Pendapat terakhir
ini lebih relevan untuk diskursus psikologi, walaupun diperlukan modifikasi
sebagian term-termnya tanpa mengubah esensinya. Dengan begitu maka pembagian
nafsani manusia adalah:
a. Daya qalb yang berhubungan dengan emosi (rasa) yang
berhubungan dengan aspek-aspek afektif;
b. Daya ‘aqal yang berhubungan dengan kognisi (cipta)
(kognitif) yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif;
c. Daya hawa nafs yang berhubungan dengan konasi (karsa)
yang berhubungan dengan aspek-aspek psikomotorik.
D. Dinamika Kepribadian Islam
Manusia dalam konsepsi kepribadain Islam merupakan makhluk
mulia yang memiliki struktur kompleks. Banyak diantara psikolog kepribadain
Barat, khususnya aliran behavioristik, kurang memperhatikan substansi jiwa
manusia. Manusia hanya dipandang dari sudut jasmaniah saja yang melibatkan
penelitian yang dilakukan seputar masalah lahiriah. Mereka banyak melakukan
eksperimen terhadap tingkah laku binatang dan hasilnya digunakan untuk memotret
tingkah laku manusia. Teori tingkah laku binatang disamakan dengan teori
tingkah laku manusia. Padahal struktur kepribadian manusia selain struktur
jasmaniah juga terdapat struktur ruh yang mana keduanya merupakan substansi
yang menyatu dalam struktur nafsani.
Oleh karena itu, pemahaman kepribadian manusia tidak hanya
tertumpu pada struktur jasmani melainkan harus juga meliputi struktur ruh.
Lebih jauh konsep yang berkembang dari psikologi pada umumnya manafikkan hal
yang berbau metafisik, transendental, dan spiritualitas. Ruh dikatakan sebagai
tempat bersemayamnyaspiritualitas (fitrah) yang mengarah pada sesuatu yang
transenden untuk mempresentasikan sifat-sifat Tuhan dengan potensi luhur batin
melalui proses aktualisasi yang dimotori oleh amanah atau pancaran ilahi.
Inilah yang menjadi motivasi tingkah laku manusia.[10]
Dinamika kepribadain Islam dibagi menjadi:
1. Dinamika struktur jasmani
Struktur jasmani merupakan aspek biologis dari struktur
kepribadian manusia. Aspek ini tercipta bukan dipersiapkan untuk membentuk
tingkah laku tersendiri, melainkah sebagai wadah atau tempat singgah struktur
ruh. Kedirian dan kesendirian struktur jasmani tidak akan mampu membentuk suatu
tingkah laku lahiriah, apalagi tingkah laku batiniah.
Struktur jasmani memiliki daya atau energi yang
mengembangkan proses fisiknya. Energi ini lazimnya disebut dengan daya hidup.
Daya hidup kendatipun sifatnya abstrak, tetapi ia belum mampu menggerakkan
suatu tingkah laku. Suatu tingkah laku dapat terwujud apabila struktur jasmani
telah ditempati struktur ruh. Proses ini terjadi pada manusia ketika usia empat
bulan didalam kandungan. Saat ini manusia memiliki struktur nafsani. Oleh
karena fitrah struktur jasmani seperti inilah maka ia tidak mampu bereksistensi
dengan sendirinya.
Konsep kepribadian Islam seperti itu berbeda dengan persepsi
psikologis iblis. Iblis menduga bahwa substansi dirinya lebih baik daripada
substansi manusia. Ia tercipta dari apai sedanag manusia tercipta dari tanah.
Api yang menjadi bahan dasar penciptaan iblis lebih baik naturnya daripada
tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Allah SWT berfirman:
“Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari
api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah” (QS Shad [38]: 76). Menurut
Ikhwan al-Shafa, iblis mengalami kesalahan persepsi dalam melihat keutuhan manusia.
Iblis hanya melihat aspek fisik manusia tanpa melihat aspek ruhaninya. Oleh
karena kesalahan persepsi ini ia enggan bersujud pada Adam a.s. ketika
ditiupkan ruh padanya.
Banyak pakar kontemporer yang telah menentukan bahwa,
substansi manusia sama dengan substansi binatang. Diantara mereka misalnya
Lemettrie (1709-1751) seorang materialisme,[12] Darwin (1809-1882) seorang
evolusionisme,[13] dan Haeckel (1834-1919) seorang biologisme-animalisme.[14]
Persepsi iblis tersebut kemudian disempurnakan dengan konsep bahwa manusia
adalah hewan yang berpikir, berpolitik, bersosial, berbudaya, berjiwa,
berbahasa, menyadari dirinya sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya.
Dengan begitu hal ini hanyalah menyentuh pada aspek-aspek
yang instrumental, belum pada aspek substansial. Dalam Islam, manusia adalah
manusia, makhluk Allah SWT yang memikul amanah sebagai hamba dan Khalifah-Nya.
Ia bukan hewan yang bebas dari taklif, melainkan makhluk mendataris Tuhan.
Sekalipun manusia berpotensi untuk mengaktualisasikan naluri kehewanannya,
bukan ia lebih hina daripada hewan, tetapi ia tetap makhluk yang bernama
manusia, yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Dinamika Struktur Ruhani
Struktur ruhani merupakan aspek psikologis dari struktur
kepribadian manusia. Aspek ini tercipta dari Amar Allah yang sifatnya ghaib. Ia
diciptakan untuk jadi substansi sekaligus esensi kepribadian manusia.
Eksistensinya tidak hanya dialam imateri, tetapi juga dialam materi (setelah
bergabung dengan fisik), sehingga ia lebih dulu dan lebih abadi adanya. Dari
pada stuktur jasmani. Naturnya suci dan mengejar pada dimensi-dimensi
spiritual. Kedirian dan kesendiriannya mampu bereksistensi meskipun sifatnya
didunia imateri. Suatu tingkah laku “ruhaniah” dapat terwujud dengan kesendirian
struktur ruhani. Tingkah laku menjadi aktual apabila struktur jasmani menjadi
satu dengan struktur ruhani.
Firman Allah SWT: (QS Al-An’am [6]: 162). Allah SWT dalam
firman tersebut merupakan asal dan tujuan dari segala kepribadain yang ada.
Dikatakan “asal” karena komponen atau struktur kepribadian diciptakan dan diatu
oleh-Nya. Penciptaan dan pengaturannya telah ditetapkan dialam perjanjian
(mitsaq) sebelum kejadian material ada. Dikatakan “tujuan” karena semua
tindakan atau tingkah laku manusia hanya untuk merealisasikan perjanjian-Nya.
Dia-lah yang menjadai tujuan hakiki kehidupan manusia. Apabila kepribadian
seseorang tertuju pada-Nya berartia ia rela menempatkan dirinya pada tujuan
yang hakiki, sebab Dia Maha Segalanya. Kepribadain semacam ini tidak akan
disia-siakan oleh-Nya melainkan diberi kenikmatan dan hakiki pula. Sebaliknya,
suatu kepribadain yang tidak termotivasi dan tetuju pada-Nya berarti ia rela
menempatkan dirinya pada posisi yang paling hina, sebab ia tidak mengetahui
yang Maha Besar. kepribadain semacam ini kelak akan mendapatkan siksaan yang
pedih.
3. Dinamika Struktur Nafsani
Struktur nafsani merupakan struktur psikofisik dari
kepribadian manusia. Struktur ini diciptaakn untuk mengaktualisasikan semua
rencana dan perjanjian Allah SWT, kepada manusia dialam arwah. Aktualisasi itu
berwujud tingkah laku atau kepribadain. Struktur nafsani tidak sama dengan
sruktur jiwa sebagai mana yang difahami dalam psikologi Barat. Ia merupaka
paduan integral antara struktur jasmani dan struktur ruhani. Aktifitas psiskis
tanpa fisik merupakan sesuatu yang ghaib, sedang aktifitas fisik tanpa psikis
merupakan mesin atau robot. Kepribadain manusia yang terstruktur dari nafsani
bukanlah seperti kepribadian malaikat dan hewan yang diprogram secara
deterministik. Ia mampu berubah dan dapat menyusun drama kehidupannya sendiri.
Kehidupan semacam itu akan terwujud apabila terjadi interaksi aktif antar aspek
fisik dan aspek psikis dari struktur nafsani.
E. Tipologi Kepribadian Islam
Tipologi kepribadian dalam islam yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Sunnah banyak ragamnya. Keragaman itu disebabkan sudut pandang
dalam melihat dan negklarifikasi ayat atau hadits Nabi SAW tentang kepribadian.
Kepribadian Islam dibagi menjadi:
1. Tipe Mukmin
Yaitu mereka yang beriman atau percaya kepada yang ghaib
seperti (Allah, malaikat, dan ruh) menunaikan shalat, menafkahkan rezekinya
kepada fakir miskin dan yatim piatu, beriman kepada kitab Allah, dan beriman
kepada hari akhir. Tipe ini digolongkan sebagai tipe dengan beruntung (mufidh)
karena telah mendapatkan petunjuk. Al-Baqarah 3-5.
"(Yaitu) mereka yang beriman kepada ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka. Dan mereka “yang beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan
kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
dengan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapatkan
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
2. Tipe Kafir
Yaitu mereka yang ingkar terhhadapp hal-hal yang dipercayai
sebagai seorang mukmin. Tipe seperti ini digammbarkan sebagai tipe yang sesat
karena terkunci hati, pendengaran dan penglihatannya dalam masalah
kebenarannya. Al-Baqarah 6-7.
“Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu
beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan mereka tidak juga akan beriman.
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan pendengaran mereka
ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat.
3. Tipe Munafik
Yaitu mereka yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
tetapi imannya hanya di mulut belaka, senantiasa hatinya ingkar. Mereka ingin
menipu Allah dan orang mukmin, walaupun sebenarnya ia menipu dirinya sendiri,
sedang mereka tidak sadar. Al-Baqarah 8-14
“Di antara mereka ada yang mengatakan: “Kami berima bkepada
Allah dan hari kemudian,” padahal merekaitu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada
mereka: “Janganlahb kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya
mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain
telah beriman?”Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi
mereka tidak tahu. Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman,
mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan apabila mereka kembal kepada
syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian
dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok".
[1]
[2] Masing-masing istilah itu jika disebut secara bersamaan
maka masing-masing istilah memiliki makna tersendiri, sesuai dengan spesifikasi
masing-masing istilah. Namun apabila disebut salah satunya maka istilah yang
disebut itu mewakili istilah yang lain.
[3] Abdul Mujib, Kepribadain Dalam psikologi Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 18-19)
[4] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 3).
[5] Kepribadian adalah “integrasi dari id, ego, dan super
ego”.
[6] Kepribadain adalah “integrasi dari ego, ketidak sadaran
pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkheti-arkhetip, pesona,
dan anima”.
[7] Pembahasan lebih lengkap, lihat abdul mujid, Fitrah dan
Kepribadian ilam, Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999),
Bab III.
[8] Term al-jisim sama artinya dengan al-jasad, hanya saja
jisim lebih umum ketimbang jasad. Menurut Al-khalil, term jasad tidak boleh
dipergunakan untuk selain spesis manusia, sedangkan jisim untuk seluruh tubuh
pada umumnya. Kata al-jasd dalam Al-qur’an diulang sebanyak 4 kali surat. Dua
diantaranya menyebutkan fisik manusia (Q.S. Yusuf [12]:8; Al-Qashash [28]:34),
sedang dua yang sisanya meneybutkan tubuh lembuh (Q.S. Al-A’raf [7]:148; Thaha
[20]:88). Sedangkan kata al-jism diulang sebanyak dua kali dalam dua surat,
yang keduanya menyebutkan fisik manusia (Q.S. Al-Baqarah [2]: 247; Al-Munafiqun
{63]:a). Untuk tulisan ini, penulis menyamakan kedua term tersebut.
[9] Iblis yang terstruktur dari hawa nafsu dan tidak
memiliki struktur akal telah mengalami kesalahan dalam mempersepsi diri
manusia. Ibliis hanya melihat manusia dari sudut jasadiah yang tercipta dari
tanah, dan tidak melihat dari sudut ruhaniah yang tercipta dari alam amar
Allah. Dari sudut jasmani, tanah bisa saja lebih buruk dari api, sehingga iblis
menduga dirinya lebih mulia dari pada manusia. Namun dari sudut ruhani, jiwa
manusia lebih lengkap dari pada jiwa iblis, sehingga manusia lebih mulia darinya.
[10] Hamim Rasyidi, psikologi Kepribadian, (Surabaya: Jaudar
Press, 2012, hlm. 159-160)
[11] Abdul Mujib, Kepribadain Dalam psikologi Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. )
[12] Menurutnya, manusia adalah suatu mesin. Ia tidak memiliki
perbedaan dengan hewan, bahkan jiwanya merupakan produk dari pertumbuhan badan.
[13] Menurutnya, manusia sejajar dengan hewan dan
kejadiannya dari sebab-sebab mekanik. Darwin terkenal sebagai pencetus teori
seleksi alam dan ilmu turunan.
[14] Menurutnya, tidak ada sangsi bahwa manusia dalam segala
hal sungguh-sungguh binatang yang beruas tulang belakan, yakni bintang
menyusui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar