Makalah IDEOLOGI AGAMA
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat serta karunia-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah yang disusun untuk memenuhi Tugas Pancasila
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dosen Bidang Studi
Pancasila yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengerjakan tugas
karya ilmiah ini, sehingga penulis menjadi lebih mengerti dan memahami tentang
Ideologi Pancasila. Tak lupa Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara langsung maupun tidak
langsung telah tnembantu dalam upaya penyelesaian karya ilmiah ini baik
mendukung secara moril maupun materil.
Ibarat pepatah “Tak Ada Gading Yang Tak Retak” maka begitu
pulalah dengan hanya ilmiah ini. Walaupun penulis telah berusaha semaksimal
mungkin, akan tetapi penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan,
kekurangan dan kesilapan dalam karya ilmiah ini. Untuk itu saran dan kritik
tetap penulis harapkan demi perbaikan makalah ini kedepan. Akhir kata penulis
berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam karya tulis ini kami mendapat tema tentang “IDEOLOGI
AGAMA”.karna ideology agama ini dapat memberikan pengetahuan tentang etika
bagaimana berperilaku yang baik dikehidupan sehari – hari.
Seiring dengan banyak terjadi konflik antar agama yaitu
fakta yang terjadi diIndonesia demi misi ideology kelompok masing – masing.
Lagi-lagi konsep tentang agama perlu dipertanyakan kembali
karena dalam konstalasi zaman, ideologi bertabrakan, dengan jahatnya ideologi
terselubung lewat agama yang sulit dikendalikan karena sangat akut, konflik
tidak hanya terjadi dalam polemik/kontroversi wacana yang terjadi dalam teks
melainkan juga secara riil telah nampak diermukaan bumi dan sangat telanjang.
Karena masing-masing paham memiliki sudut pandang yang berbeda dan juga
relevansinya dengan ideologi masing-masing. Konsekuensi logisnya suatu
penyampaian terdistorsi, yang seharusnya berada di wilayah agama kini
ditempatkan pada wilayah teks, karena setiap tokoh paham mempunyai hak
provieles dan sebagai masyarakat yang awam tidak dapat memberikan negasi
mutlak. Indikasinya masyarakat selalu terpatologi bahkan menjadi panismen
ideologi paham.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan karya ilmiah ini terdapat rumusan masalah
yaitu sebagai berikut :
Agama sebagai
ideologi (Benarkah kekerasan atas nama agama ada?)
Benarkan Islam
hanya agama, bukan ideologi?
1.3 Manfaat Penulisan
Untuk mengetahui
apa itu ideologi agama
Untuk mengetahui
perkembangan ideologi agama
Untuk mengetahui
kondisi ideology saat ini
Untuk dijadikan
sebagai pedoman pada penulisan perkembangan karya ilmiah selanjutnya.
1.4 Tujuan Penulisan
Karya tulis ini
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen bidang studi Pancasila.
Agar kita lebih
mengerti dan memahami tentang Ideologi Agama.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode literature
yaitu meneliti masalah dengan menggunakan kajian yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2,1 Pengertian Ideologi
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ideologi
memiliki arti Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, cara berpikir
seseorang atau suatu golangan, Paham, Teori dan Tujuan yang merupakan satu
program sosial politik.
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi
sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan “sains tentang ide“.
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang
segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam
kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis),
atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota
masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan
melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak
(tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik
sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap
pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai
sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme).
2.2 Pengertian
Ideologi Agama
Agama Sebagai Ideologi pada tataran individu, etika
berfungsi sebagai proses awal pembentukan indentitas. Konstruksi identitas akan
memberikan kesadaran untuk mempercayai segala kebenaran yang disampaikan oleh
suatu agama. Jika seorang penganut agama sudah punya kesadaran tentang
identitasnya dalam suatu agama, maka komitmennya pada agama tidak akan
diragukan lagi. Dapat dikatakan bahwa militansi seorang penganut agama berawal
dari pembentukan identitas pada dirinya. Adanya identifikasi spesifik di antara
anggota kelompok. Termasuk masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat
pada cerita kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan perlawanan antara
yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan tidak
suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga memberikan restu pada
perilaku yang dianggap benar. Konsep ini juga memberikan pemahaman untuk
memberikan reward pada pelaku agama, yang benar diberikan pahala sedangkan yang
salah diberikan dosa. Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal
ideologisasi agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk
mempengaruhi kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan apa yang telah
digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih
lanjut identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju,
karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk
agama. Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta
dipercaya oleh para penganutnya, dalam keadaan ini konstruksi identitas
memberikan pengamanan akan keraguan tersebut. Hingga penerimaan akan sebuah
kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan. Pada dataran inilah kebanyakan
pemerhati keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan atas nama agama muncul.
Menurut penulis sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah menjadi pokok
persoalan, ketika ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan
bagi hidup di dunia dan akhir nanti. Karena memang setiap agama menawarkan rasa
aman kepada pengikutnya. Tentunya perasaan seperti inilah yang dicari oleh
setiap pengikut agama. Rasa aman memberikan ketenangan kepada manusia akan
kehidupan setelah mati, seperti apa yang selalu di informasikan oleh setiap
agama di dunia ini. Permasalahannya adalah pembenaran tindak kekerasan terhadap
kelompok lain.
2.3 Pengertian
Ideologi Islam
Ideologi Islam (Arab: الإسلامɪ
(bantuan·info) al-‘islāmiyya) adalah sistim politik yang berdasar akidah agama
Islam. istilah dan definisi ideologi Islam mempunyai istilah dan definisi yang
berbeda-beda di antara para pemikir terkemuka Islam.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Agama sebagai Ideologi
Akhir-akhir ini kita selalu disuguhi fenomena yang hampir
tidak terperikan. Kekerasan atas nama agama marak terjadi di mana-mana. Mulai
dari teror mental terhadap aliran lain dalam sebuah komunitas, sampai pada
tindak kekerasan fisik. Contoh nyata adalah pembakaran masjid jama’ah Ahmadiyah
yang terjadi di Lombok, beberapa minggu yang lalu. Hal ini aneh dan sangat
membebani tentunya dalam hati setiap orang yang merasa beragama. Sebagai
konsekuensinya tentunya kita wajib mempertanyakan sebenarnya apakah memang
Agama yang kita anut (Islam) mengajarkan dengan sendirinya tindak kekerasan?
Ataukah sebenarnya tindak kekerasan yang terjadi hanya sebatas atas nama agama
belaka? Yang intinya karena kepentingan golongan tertentu?
Pada dasarnya kalau kita kaji dari sudut pandang Agama
sebagai sistem sosial. Maka agama mempunyai aturan dan kriteria yang sama
dengan semua organisasi sosial lainnya. Agama mempunyai konsern terhadap
aspirasi atau keinginan, harapan dan juga tujuan yang dicita-citakan. Penganut
agama punya rasa keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi nanti (kejadian
alam, kecelakaan, kematian dll.), mereka juga punya keinginan untuk
mengekspresikan hubungannya dengan Tuhan (ibadah dan kegiatan ritual keagamaan
lainnya), dan pada akhirnya mereka semua menginginkan reward atau tujuan yang
akan dicapai setelah melakukan semua aturan dan norma yang ada (surga ataupun
neraka)
Proses pencapaian suatu tujuan akan berhasil ketika norma
atau aturan yang telah disepakati berhasil dilaksanakan dengan baik oleh
anggotanya. Sebagaimana sebuah peradaban, di mana akan terbentuk ketika
masyarakat yang ada di dalamnya mempunya kesadaran dan bekerja secara komunal,
pun juga masyarakat, tidak akan bisa bekerja jika tidak di topang
individu-individu brilian yang bekerja demi tujuan bersama, ketika ini
terealisasi maka sebuah peradaban bisa terbentuk.
Begitu juga agama, aturan dan norma-norma yang ada (demi
tujuan yang telah disepakati) akan berhasil jika semua pengikut menjalankannya.
Untuk itu, agama memerlukan satu etika (ethos) yang kemudian bisa menumbuhkan
kesadaran bagi pengikut agama guna menaati semua aturan yang ada. Etika dalam
agama juga berfungsi sebagai rasionalisasi suatu agama kepada penganutnya.
Pula, etika memberikan legitimasi bagi peraturan agama sehingga dapat
dijalankan oleh penganutnya. Weber berpendapat bahwa etika agama mempunyai
pengaruh yang sangat signifikan, penganut agama akan merasa berdosa jika tidak
mengerjakan aturan dalam suatu agama (konsep kewajiban).
Agama Sebagai Ideologi
Pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal
pembentukan indentitas. Konstruksi identitas akan memberikan kesadaran untuk
mempercayai segala kebenaran yang disampaikan oleh suatu agama. Jika seorang
penganut agama sudah punya kesadaran tentang identitasnya dalam suatu agama,
maka komitmennya pada agama tidak akan diragukan lagi. Dapat dikatakan bahwa
militansi seorang penganut agama berawal dari pembentukan identitas pada
dirinya.
Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok.
Termasuk masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat pada cerita
kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan perlawanan antara yang baik dan
jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan tidak suka pada
beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga memberikan restu pada perilaku
yang dianggap benar. Konsep ini juga memberikan pemahaman untuk memberikan
reward pada pelaku agama, yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah
diberikan dosa.
Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal
ideologisasi agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk
mempengaruhi kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan apa yang telah
digariskan sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih
lanjut identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju,
karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-masing pemeluk
agama. Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama tidak akan serta-merta
dipercaya oleh para penganutnya, dalam keadaan ini konstruksi identitas
memberikan pengamanan akan keraguan tersebut. Hingga penerimaan akan sebuah
kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan. Pada dataran inilah kebanyakan pemerhati
keagamaan memetakan asal-mula tindakan kekerasan atas nama agama muncul.
Menurut penulis sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah
menjadi pokok persoalan, ketika ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan
dan keamanan bagi hidup di dunia dan akhir nanti. Karena memang setiap agama
menawarkan rasa aman kepada pengikutnya. Tentunya perasaan seperti inilah yang
dicari oleh setiap pengikut agama. Rasa aman memberikan ketenangan kepada
manusia akan kehidupan setelah mati, seperti apa yang selalu di informasikan
oleh setiap agama di dunia ini. Permasalahannya adalah pembenaran tindak
kekerasan terhadap kelompok lain. Apakah memang rasa aman mampu diperoleh
dengan tindak kekerasan dan menghilangkan rasa aman dan nyaman orang lain?
Tindak kekerasan bukanlah sebuah solusi!
3.2 Benarkan Islam hanya agama, bukan ideologi?
Harus diakui, istilah ideologi adalah istilah baru, setelah
munculnya ideologi dunia, seperti Kapitalisme dan Sosialisme. Bagi Islam dan
kaum Muslim, istilah ideologi ini merupakan istilah serapan, seperti istilah
‘aqîdah, dharîbah, dustûr (UUD) dan qânûn (UU) pada zaman masing-masing ketika
istilah tersebut muncul pertama kali, dan diadopsi oleh kaum Muslim. Istilah
‘aqîdah, misalnya, sekalipun tidak digunakan dalam nas-nas al-Quran dan as-Sunnah,
pada akhirnya bisa diterima oleh kaum Muslim, setelah digunakan oleh para ulama
ushuluddin pada pertengahan abad ke-6 H.1 Istilah ini merupakan padanan dari
kata îmân, yang digunakan baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Demikian halnya
penggunakan istilah dharîbah, digunakan oleh para fukaha kaum Muslim kira-kira
pada abad ke-8 H.2 Hal yang sama juga terjadi dalam kasus dustûr dan qânûn,
yang digunakan pada abad ke-18 H, setelah negara-negara Eropa mulai bangkit
serta membuat UUD dan peraturan perundang-undangan. Istilah UUD dan peraturan
perundang-undangan ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan istilah
ad-dustûr wa al-qawânîn. Awalnya, istilah ini dipakai oleh para ulama bahasa
untuk menulis buku yang berisi aturan bahasa, seperti kitab Dustûr al-Muntahâ
atau Dustûr al-Mubtadi’.3
Dalam konteks penggunaan istilah ideologi, istilah ini
kemudian digunakan dalam bahasa Arab dengan sebutan yang sama, yaitu idiyuluji,
atau dengan sebutan yang berbeda, yaitu mabda’. Intinya adalah pemikiran paling
mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain.4 Pemikiran seperti ini,
menurut Muhammad Muhammad Ismail, hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh
tentang alam, manusia dan kehidupan; serta apa yang ada sebelum dan setelahnya;
juga hubungan antara alam, manusia dan kehidupan dengan apa yang ada sebelum
dan setelahnya.5 Bagi kaum Muslim, pemikiran seperti ini adalah akidah Islam
itu sendiri. Sebab, akidah Islam adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam,
manusia dan kehidupan; yaitu dari mana, untuk apa dan akan ke manakah alam,
manusia dan kehidupan ini? Maka dari itu, tentu alam, manusia dan kehidupan itu
tak lain merupakan ciptaan Allah, untuk mengabdi kepada-Nya, dan hanya
kepada-Nyalah semuanya akan kembali. Manusia akan dibangkitkan dan dimintai
pertanggungjawaban setelah kematiannya di dunia, sementara yang lain tidak.
Karena itu, sebelum kehidupan ini, ada Allah, Zat Yang Maha Pencipta, dan
setelah kehidupan ini akan ada Hari Kiamat, dan hisâb. Agar semua proses
kehidupan manusia itu bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak, maka
Allah menurunkan syariah (aturan) untuk kehidupan manusia, yang kelak juga akan
dijadikan standar oleh Allah untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Inilah
pemikiran mendasar, yang juga disebut fikrah kulliyah Islam. Pemikiran mendasar
inilah yang juga disebut mabda’ atau idiyuluji. Inilah substansi ideologi,
yaitu apa dan bagaimana ideologi itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya, apakah setiap akidah agama bisa
menjadi ideologi? Jawabannya tidak, bergantung: Pertama, apakah akidahnya
adalah akidah yang rasional atau tidak? Kedua, apakah akidah tersebut bisa
memancarkan sistem (nizhâm) atau tidak? Jika dari kedua pertanyaan tersebut
jawabannya ya, atau dengan kata lain merupakan akidah rasional yang bisa memancarkan
sistem, maka akidah tersebut bisa menjadi ideologi. Sebaliknya, jika tidak maka
akidah tersebut pasti tidak akan bisa menjadi ideologi. Contohnya, akidah
Yahudi maupun Nasrani. Kedua akidah ini tidak bisa menjadi ideologi, karena
bukan merupakan akidah ‘aqliyyah, yang bisa memancarkan nizhâm. Ini berbeda
dengan akidah Islam. Akidah Islam adalah akidah rasional yang bisa memancarkan
nizhâm, yang bukan hanya sistem peribadatan saja, melainkan juga sistem
pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan semua sistem kehidupan yang
lainnya.
Bukti lain bahwa Islam bisa menjadi ideologi adalah dari
aspek keutuhan ajaran Islam, yang bukan hanya berisi gagasan, konsep atau
pemikiran, yang disebut dengan fikrah (ide), tetapi juga berisi tharîqah
(metode) bagaimana fikrah tersebut diterapkan, dipertahankan dan diemban ke
seluruh dunia. Pada tataran konsep, misalnya, Islam bukan saja berisi akidah
tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta Qadha’
dan Qadar—yang baik dan buruknya berasal dari Allah; tetapi juga seluruh aturan
yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam konteks ubudiah, muamalah maupun untuk
mengurus dirinya sendiri (akhlak, makanan dan pakaian). Semua itu hanya bisa
diwujudkan kalau ada metode untuk mewujudkannya, yaitu adanya partai yang
memperjuangkan terwujudnya fikrah tersebut, dan adanya negara yang
menerapkannya. Demikian halnya, semua itu bisa dipertahankan jika ada sanksi
hukum dan negara yang mempertahankannya, berikut peranan partai politik dan
umat yang mengontrolnya. Begitu juga, semua itu akan bisa diemban ke seluruh
dunia jika ada dakwah, jihad dan negara yang mengembannya.
Karena itu, Islam bukan hanya agama, melainkan juga
ideologi. Penggunaan ideologi ini untuk Islam tentu absah, dilihat dari
substansinya; bukan dari aspek sumber, dari mana ideologi tersebut dihasilkan;
akal atau wahyu? Sebab, pada aspek ini, persoalannya adalah persoalan sumber,
bukan substansi. Artinya, dari aspek sumber ideologi, ideologi yang ada saat
ini bisa dikategorikan menjadi dua: yaitu ideologi yang bersumber dari akal
manusia dan ideologi yang bersumber dari wahyu. Islam adalah satu-satunya
ideologi yang bersumber dari wahyu. Selain Islam, baik Kapitalisme, Solialisme
maupun Komunisme adalah ideologi yang bersumber dari akal manusia. Hanya saja,
sering ada kesengajaan untuk merancukan ideologi dari substansinya ke
sumbernya. Akibatnya, Islam ditolak sebagai ideologi, dengan alasan, Islam
adalah ajaran yang bukan bersumber dari akal manusia, melainkan dari wahyu
Allah. Padahal konteks permasalahannya bukan disitu. Ini sebenarnya merupakan
upaya penyesatan yang bertujuan untuk menolak Islam sebagai ideologi. Padahal
dengan menolak Islam sebagai ideologi, sama saja dengan menolak Islam sebagai
sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar
negeri. Tentu itu bertentangan dengan akidah Islam dan kaum Muslim, apapun
mazhabnya.
Kita tidak yakin ada orang Islam yang berani melakukan itu,
apalagi sampai lancang mengatakan, bahwa ideologi Islam adalah sumber konflik.
Sebab, risikonya jelas: melawan akidah yang diyakininya, bahkan menginjak-injak
fikih yang dipelajari dan diajarkannya sendiri; kecuali, jika dia menjadi
kepanjangan tangan kaum imperialis penjajah untuk sengaja melemahkan Islam dan
kaum Muslim, demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia, yang belum tentu
didapatkannya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa
ideologi agama merupakan etika yang digunakan sebagai proses awal
pembentukan identitas atau jati diri seseorang bisa
terbentuk.Sehingga,seseorang itu bisa berkelakuan baik dan berakhlak mulia
yaitu menaati setiap nilai – nilai dan norma – norma yang berlaku dalam suatu
bangsa dan Negara.
B. Saran
Dengan adanya karya tulis ini sehingga diharapkan dapat
memberikan masukan kepada semua kalangan agar bisa menerapkan ideology agama
didalam kehidupan sehari – hari.Guna untuk menumbuhkan rasa kebersamaan
diantara perbedaan yang terjadi di kehidupan beragama agar tidak terjadi lagi
konflik antar agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar