Jumat, 28 Oktober 2016

Partai Politik


  “PARTAI POLITIK ERA ORDE BARU DAN REFORMASI”

Disusun Oleh :
   
DEWI SULISTIANI  (15101018)
MAS PUTRI NUR’AINI    (15101049)
NURUL KHAIFA   (15101067)
SANDY NAYOAN   (15101084)
SINTA RAMADHANI    (15101085)
CINDY PRATIWI  (15101010)



A.      Definisi Partai Politik
            Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
            Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-aggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
            Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definis yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer.

Carl J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut :
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahanbagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages).

Sigmund Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut :
Partai politik adalah oragnisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views).

Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.

            Ahli lain juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori :
Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum itu, mampu menempatkan calom-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (Aparty is any political group that present at elections, and capable of placing through elections candidates for piblic office).

B.       Fungsi Partai Politik
Dibagian terdahulu telah disinggung bahwa ada pandangan yang berbeda secara mendasar mengenai partai politik di negara yang demokratis dan di negara yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi partai di masing-masing negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Sebaliknya di negara otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetapi lebih banyak menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di negara demokratis, otoriter, dan negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah demokrasi. Penjelasan fungsi partai politik di negara otoriter akan dipaparkan dalam contoh partai-partai di negara-negara komunis pada masa jayanya.

1.      Fungsi di Negara Demokrasi
·         Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Prosesmini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setalah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam program atau platform partai (goal formulation) untuk dioerjuangkan atau disampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Disisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke baah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijkan pmerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan menimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi seacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.

·         Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, mesalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik.
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik. Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisai politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional.

·         Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepntingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.

·         Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart : Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama di antara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavages at the mass level could be overcome by elite cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahanya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan  menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai malahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu msyarakat yang rendah kadar konsensus nasionalnya, peran semacam ini dapat membahayakan stabilitas politik.

2.      Fungsi di Negara Otoriter
Hal-hal yang dijelaskan di bagian terdahulu adalah fungsi-fungsi partai menurut pandangan yang berkembang di negara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita lihat bagaimana paham negara otoriter, misalnya bagaimana komunisme di Uni Soviet memandang partai politik. Pada kenyataannya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh lain negara yang otoriter adalah China dan Kuba. Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai komunis berkuasa di negara di mana ia berada atau tidak. Di negara dimana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di negara-negara demokrasi) unutk mencari dukungan seluas-luasnya, misalnya dengan jalan memupuk rasa tidak puas di kalangan rakyat. Partai komunis bertujuan mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan batu loncatan guna menguasai semua partai politik yang ada dan mneghancurkan sistem politik yang demokratis. Maka dari itu, partai ini menjadi paling efektif di negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah tercapainya masyarakat yang modern dengan ideologi komunis, dan parati berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Supreme Soviet yang merupakan badan tertinggi diketuai oleh suatu presidium yang anggota-anggotanya juga sebagai tokoh partai. Begitu pula halnya dengan pimpinan semua badan kenegaraan seperti badan eksekutif dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih berkuasa dari Presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan negara totaliter.
Partai komunis juga melaksanakan beberapa fungsi, tetapi pelaksanaannya sangat berbeda dengan yang ada di negara-negara demokrasi. Misalnya, dalam rangka berfungsi sebagai sarana komunikasi politik partai menyalurkan informasi untuk mengindoktrinasikan masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Arus informasi lebih bersifat dari atas ke bawah, dari pada arus dua arah.
Jadi, dari uraian tadi dapat dikatakan bahwa fungsi partai politik di negara komunis berbeda sekali dengan partai dalam negara yang demokratis. Mengenai perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut: Jika di negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum, peran partai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yan sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity). Kedua fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari atas ke bawah.

3.      Fungsi di Negara-Negara Berkembang
Di negara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain, demikian pula keadaan partai politiknya menunjukkan banyak sekali variasi. Kecuali di beberapa negara yang berlandaskan komunisme, seperti Korea Utara, partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan kukuh.
Di beberapa negara fungsi yang agak sukar dilaksanakannya ialah sebagai jembatan antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Serimg golongan pertama banyak mencakup orang yang kaya, sedangkan golongan yang “diperintah” banyak mencakup orang miskin. Dengan demikian jurang di antara ke dua belah pihak sukar dijembatani. Selain itu, partai politik sering tidak mampu menengahi pertikaian dalam masyarakat dan persaingan antar-partai sering memperuncing situasi konflik, dan malahan menimbulkan pertikaian yang baru. Keadaan semacam ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.
Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk memperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan hidupnya menjadi satu bangsa. Akan tetapi pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotakan dan pertentangan yang mengeras.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik, sekalipun memiliki banyak kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupnya politiknya. Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainnya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya di negara yang keabsahan pemerintahannya sedikit banyak diuji oleh berjuta-juta rakyat dalan pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan organisasi kekuatan sosial politik lainnya menduduki tempat yang krusial.

C.      Klasifikasi Sistem Kepartaian
Di atas telah dibahas bermacam-macam jenis partai. Maurice Duverger dalam bukunya Political Parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori, yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi-partai.

1.      Sistem Partai-Tunggal
Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai-tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara bebrapa partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.
Sistem partai-tunggal adalah suatu keadaan dimana suatu Negara hanya memiliki satu partai ataupun sautu partai memiliki kedudukan dominan dan tidak diperbolehkan bersaing dengannya, sehingga partai-partai kecil harus menerima pimpinan dari partai besar, bahkan dalam beberapa kasus, oposisi dari partai dominan dianggap sebagai pengkhianatan.
Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam katagori ini. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya.
Terutama di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai-tunggal karena pimpinan (sering seorang pemimpin kharismatik) dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta padangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak diatur dengan baik akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha pembangunan. Padahal pembangunan itu harus memfokuskan diri pada suatu program ekonomi yang future-oriented. Fungsi partai adalah meyakinkan atauu memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara Afrika pindah ke sistem multi-partai.
Negara yang paling berhasil dalam menyingkirkan parta-partai lain ialah Uni Soviet pada asa jayanya. Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang diperbolehkan bersaing, oposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai-tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan kepentingaan rakyat secara menyeluruh.
Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi “motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terentukk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.

2.      Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian memepunyai kedudukan dominan. Dan sistem ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika, Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo Saxon.
Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas  dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Degan demikian jelaslah dimana letak tanggungjawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum. Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tanagan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median vote).
Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for contented people dan memang kenyataannya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi mansyarakat bersifat homogen, adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik, dan adanya kontinuitas sejarah.
Pada umunya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan peringatan sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yang terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok di tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunaknnya sistem pemilihan single-member constituency (sistem distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti sistem multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar sisem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.

3.      Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk memebentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (Proportional Representation) yang memeberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru. Melalui sistem perwakilan berimbang patai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara ysng diperlukan guna memenangkan satu kursi.
      Indonesia mempuyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai.Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda.Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masalah lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.

D.      Partai Politik di Indonesia
Di Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama kurang lebih 100 tahun.Di Eropa Barat, terutama di Inggris, partai politik telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa. Saat ini partai politik ditemukan dihampir semua Negara di dunia.
            Umumnya dianggap bahwa partai politik adalah sekelompok manusia terorganisir, yang anggota anggotanya sedikit banyak mempunyai orientasi nilai nilai serta cita cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik serta mempertahankannya guna melaksanakan program yang telah ditetapkannya.
            Di Indonesia kita terutama mengenal sistem multi-partai, sekalipun gejala partai–tunggal dan dwi-partai tidak asing dalam sejarah kita.Sistem yang kemudian berlaku berdasarkan sistem tiga orsospol dapat dikategorikan sebagai sistem multi-partai dengan dominasi satu partai. Tahun 1998 mulai masa reformasi, Indonesia kembali ke sistem multi-partai (tanpa dominasi satu partai).
            Menurut UU no. 31 pasal 1 tahun 2002, partai politik adalah organisasi politik yg dibentuk oleh sekelompok warga Negara republic Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum. Pembentukan partai politik tersebut adalah jaminan dari hak warga Negara yang tercantum dalam konstitusi yang menjelaskan bahwa setiap warga Negara memiliki kebebasan atas berserikat, berkumpul, dan berpendapat.Selain itu, kebebasan yang berkaitan dengan berkumpul dan berpendapat juga tercantum dalam hukum hak asasi manusia internasional.Pembentukan partai politik juga merupakan makna dari paham demokrasi dimana rakyat memiliki hak untuk menentukan representasi politik sebagai sarana kehendak dan kemauan bersama.
            Akan tetapi, representasi langsung rakyat akan sulit dilaksanakan, oleh karena itu lembaga parlemen yang dibutuhkan sebagai alat agregasi aspirasi masyarakat luas. Selain itu, partai politik merupakan hal yang berarti bagi sistem demokrasi bernegara karena proses kelembagaan demokrasi dipengaruhi oleh kelembagaan politik. Pasal 20 ayat 1 UDHR 1948, Ps. 21 – 22 ICC PR 1996 / UU NO.12 tahun 2005 partai politik tidak dapat lepas dari perananny sebagai actor politik Negara. Partai politik berfungsi sebagai representasi rakyat dalam parlemen, rekrutmen politik, menentukan arah Negara melalui kebijakan dipemerintahan, artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi, serta pengorganisasian pemerintah dalam menjaga kestabilan politik bernegara.



E.       Perkembangan Partai Politik Dimasa Orde Baru
Partai politik dimasa orde baru, kehidupan politik di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kestabilan politik.  Kestabilan politik dimasa orde baru didapat melalui kebijakan represi terhadap aktor politik yang memiliki potensi untuk melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintahan. Kebijakan politik yang terjadi adalah dwifungsi ABRI, penekanan terhadap Organisasi Non Pemerintah (ornop), pembatasan pers, penyerdehanaan politik, dan pembatasan kegiatan politik diluar ruangan, seperti kegiatan politik mahasiswa serta civil society. Stabilitas politik dilakukan dengan mengatasnamakan pembangunan, entah itu benar atau tidak, meski banyak wacana menyiratkan stabilitas yang terjadi pada masa orde baru adalah bentuk melanggengkan kekuasaan. Konstelasi partai politik di Indonesia pada masa orde baru merupakan sasaran dari kebijakan stabilitas politik.Karakteristik yang menonjol pada konstelasi partai politik saat itu adalah aksi penyerderhanaan partai politik yang dilaksanakan oleh pemerintahan. Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanaan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan atau fusi sejumlah partai. Sehingga pelaksanannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan 3 kekuatan sosial-politik, yaitu :
·         Partai yang memiliki basis ideologi islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan partai islam perti yang dilakukan pada tanggal 5 januari 1973.
·         Partai yang memiliki basis ideologi nasionalis, partai yang Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, partai katolik, partai murba, IPKI, dan Parkindo.
·         Golongan karya (Golkar), terdiri dari 7 kelompok induk organisasi (kino) yang bersifat kekaryan.
Sistem kepartaian yang terdiri masa orde baru dapat dikatakan sebagai sistem partai politik tripartai karena hanya terdapat tiga partai politik yang legal dan fungsional. Masa orde baru, tidak diperkenalkan istilah politik oposisi. Hal ini menyebabkan ruang gerak partai politik yang tidak dominan menjadi sulit untuk mengeluarkan aspirasi. Peran PDI dan PPP tidak disignifikan dalam sejarah orde baru karena kedua partai dibuat sedemikian rupa. Sehingga kedua partai dapat didominasi oleh Soeharto sebagai eksekutif pemerintah yang menggenggam kekuasaan legislative juga. Misalnya oposisi pada masa ini berdampak buruk pada citra demokrasi orde baru.Secara nyata, kedua partai PDI dan PPP hanya berfungsi secara semu dan sebagai pelengkap arti demokrasi dikala itu. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem partai politik pada masa orde baru bukan lagi tripartai melainkan sistem partai politik satu-setengah.
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah 2 dengan rehabilitasinya murba dan terbentuknya partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru.
Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama  lebih berusaha disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 1999 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Mencermati perubahan-perubahan politik antar waktu sepanjang Indonesia merdeka dan dengan meminjam kategori teoritis dari Amitai Etziono (1961) maka kita dapat membagi massa politik kedalam tiga kategori besar. Yaitu : (1) massa moral; (2) massa kalkulatiaf; dan (3) massa alienatif.
Massa moral adalah massa yang potensial terikat secara politik pada satu orsospol karena loyalitas normative yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, tidak kritis terhadap krisis-krisis empirik, serta “menumpuk” dikantong - kantong politik pedesaan.
Massa kalkulatif adalah massa perkotaan yang kritis dan sangat akrab dengan modernitas. Massa ini menempati lapisan tengah struktur masyarakat orde baru, memiliki sifat - sifat kosmopolit dan amat peduli dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi masyarakat disekelilingnya.
Massa alienatif adalah massa yang “bodoh” atau terbodohi secara structural dan terpaksa menjadi bodoh karena rigiditas struktur politik. Dalam konteks orde baru, mereka untuk meminjam istilah Samuel P. Huntington dan Joan M Nelson (1990) dapat dipandang sebagai “korban-korban mobilisasi politik kearah ideologi pembangunan dan penataan tertib politik”.
Massa moral memang tetap menjadi massa terbesar secara kuantitas, namun ditengah modernitas, mereka menjadi “sisa-sisa politik masa lalu”. Kecenderungan kontemporer yang kita saksikan adalah masa moral semakin akrab bersentuhan dengan modernitas. Hasilnya mereka menjadi semakin kalkulatif. Massa alienatif yang kuantitasnya juga  besar mengalami pula pergeseran serupa. Dalam konteks orde baru kontemporer, massa alienatiflah yang paling merasa dikhianati oleh negara. Akhirnya massa alienatif ini makin tereduksi jumlahnya karena beralih pula menjadi kalkulatif.



F.       Perkembangan Partai Politik Pada Masa Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan masa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi merebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian yang disempurnakan dengan UU No. 31 Tahu 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Golkar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) .
Pada tanggal 18 mei, Harmoko, ketua MPR, terang terangan meminta Soeharto mengundurkan diri demi kepentingan nasional. Setelah Soeharto turun dari jabatannya, jabatan presiden dipegang oleh BJ.Habibie.Era ditandai oleh euphoria politik yang luar biasa berupa kebebasan bagi rakyat untuk mendirikan partai politik. Hasilnya, hanya dalam waktu sekitar 1 tahun telah berdiri 181 parpol, dimana yang bisa diterima oleh Departmen Kehakiman sebanyak 141 parpol. Dari 141 parpol hanya 48 yang berhak mengikuti pemilu 1999.
            Sistem kepartaian di Indonesia kembali menganut sistem multipartai, seperti pada tahun 1950-an. Hanya bedanya, sistem multipartai pada tahun 1950-an berkembang dalam Demokrasi Liberal dan pemerintahannya berbentuk parlementer. Sedangkan sistem multi-partai yang berkembang pasca reformasi berkembang dalam sistem pemerintahan presidensial sehingga tentu saja hal ini menuntut prosedur yang berbeda.

1. Partai Golongan Karya (Golkar)

2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Naiknya megawati sebagai ketua PDI pada 1993 mengantikan Soeryadi merupakan tantangan eksternal bagi Soeharto. Ini menjadi ancaman serius orde baru karena dua alasan pokok, yaitu: (1) megawati adalah putri soekarno yang mewarisi charisma ayahnya dalam menggalang kekuatan massa, dan (2) megawati mendapatkan dukungan yang besar dari pengurus dan massa PDI. Oleh karena itu megawati diturunkan kedudukannya lewat kongres PDI di Medan pada Juni 1996 yang akhirnya menaikkan kedudukan soeryadi. Namun akibatnya, PDI pecah menjadi dua. Megawati memimpin PDI dan menambahkan Perjuangan pada nama partainya itu dan justru semakin mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat luas. Apalagi stelah munculnya kasus 27 juli 1996, yaitu kasus pengambil alihan kantor pusat PDI di Jakarta secara paksa oleh soeryadi yang melibatkan campur tangan pemerintah soeharto, yang mengakibatkan ratusan korban Pro PDI megawati terluka.

3. Partai Amanat Nasional’
Partai ini dibentuk oleh Amien Rais, PAN sendiri merupakan partai islam. Amien Rais muncul sebagai tokok intelektual yang berperan penting setelah jatuhnya rezim orde baru. Disbanding dengan parai-partai islam lainnya PAN tampak unggul dalam hal platform dan performance. PAN menjelma sebagai partai islam reformis, dan melebarkan pengaruhnya dikalangan penduduk perkotaan, mahasiswa, dan mereka yang perduli pada perubahan-perubahan politik.

4. Partai Kebangkitan Bangsa
Partai kebangkitan bangsa didirikan oleh Abdurrahman Wahid. Parai kebangkitan bangsa (PKB) lahir lebih cepat dari PAN sebagai wujud dari kekecewaaan NU terhadap rezim soeharto yang dirasakn sangat memarjinalkan peran ormas islam terbesar. Jika PAN lebih mewakili suara masyarakat perkotaan, PKB lebih mewakili suara masyarakat pedesaan. Berbeda dengan partai islam lainnya, PKB melakukan pendekatan dengan partai lain, yaitu dengan partai PDIP. Hal ini di karenakan, Gusdur (Abdurrahman Wahid) menjalin hubungan dekat dengan megawati.Akibat dari kegusaran Gusdur terhadap politik belah bamboo soeharto terhadap PPP.Itulah sebabnya dalam pemilu 1987 dan 1992 banyak pemilih NU yang mendukung PDI soeryadi.

5. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai keturunan Masyumi. Pada pemilu 1999, PPP menempati peringkat ke 4.

6. Partai Bulan Bintang (PBB)
Pendiri PBB adalah Yusril Ihza Mahendra.Ia merupakan pengagum Masyumi dan seorang intelektual muda. Yusril Ihza Mahendra tampak cukup dekat dengan pemerintah orde baru menjelang berakhirnya rezim soeharto mempunyao tekad yang kuat untuk mendirikan partai politik islam.

7. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai ini mempunyai pendukung dari kalangan mahasiswa seluruh Indonesia, khusunya di pulau jawa. Partai ini mempunyai misi yang berbeda dengan partai islam lainnya, mereka sangat percaya pada kebenaran islam dan ingin menjadikan dakwah sebagai tujuan utama partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penting! Minum 7 Suplemen Ini di Usia 20-an supaya tetap sehat di usia tua.

Umumnya, usia 20-an adalah usia di mana kita sedang sehat-sehatnya. Nge-gym selama 2 jam? Bisa. Naik gunung hingga berhari-hari? Hayuk. Bega...