“PARTAI POLITIK ERA ORDE BARU DAN REFORMASI”
Disusun Oleh :
A. Definisi Partai Politik
Partai politik berangkat dari
anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan
orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka
bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam
pembuatan dan pelaksanaan keputusan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-aggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
Banyak sekali definisi mengenai
partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa
contoh definis yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer.
Carl
J. Friedrich menuliskannya sebagai berikut :
Partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahanbagi pimpinan
partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, party is a group of human beings, stably organized with
the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a
government, with the further objective of giving to members of the party,
through such control ideal and material benefits and advantages).
Sigmund
Neumann dalam buku karyanya, Modern Political Parties,
mengemukakan definisi sebagai berikut :
Partai
politik adalah oragnisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai
pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of
society’s active political agents; those who are concerned with the control of
governmental polity power, and who compete for popular support with other group
or groups holding divergent views).
Menurut
Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi.
Ahli lain juga turut merintis studi
tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Giovanni Sartori, yang
karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori :
Partai
politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum itu, mampu
menempatkan calom-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (Aparty is any political group that present
at elections, and capable of placing through elections candidates for piblic
office).
B. Fungsi Partai Politik
Dibagian
terdahulu telah disinggung bahwa ada pandangan yang berbeda secara mendasar
mengenai partai politik di negara yang demokratis dan di negara yang otoriter.
Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanaan tugas atau fungsi
partai di masing-masing negara. Di negara demokrasi partai relatif dapat
menjalankan fungsinya sesuai harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi
wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan
bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Sebaliknya di
negara otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetapi lebih banyak
menjalankan kehendak penguasa.
Berikut
ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di negara demokratis,
otoriter, dan negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah
demokrasi. Penjelasan fungsi partai politik di negara otoriter akan dipaparkan
dalam contoh partai-partai di negara-negara komunis pada masa jayanya.
1. Fungsi di Negara Demokrasi
·
Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Di
masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi
yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan
hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan
digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Prosesmini
dinamakan penggabungan kepentingan (interest
aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan
dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan
kepentingan (interest articulation).
Seandainya
tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi
tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi
dan artikulasi kepentingan kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan
artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setalah
itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini
dimasukkan ke dalam program atau platform
partai (goal formulation) untuk
dioerjuangkan atau disampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar
dijadikan kebijakan umum (public policy).
Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah
melalui partai politik.
Disisi
lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan
rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi
arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke baah dan dari bawah ke atas.
Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang
memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting,
karena di satu pihak kebijkan pmerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok
masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat.
Dalam
menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang
juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat
pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Menurut
Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai
politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan
ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengkaitkannya
dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas.
Akan
tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja
atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan
menimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi seacam itu
menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
·
Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam
ilmu politik sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang
umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses
yang menentukan sikap politik seseorang, mesalnya mengenai nasionalisme, kelas
sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.
Dimensi
lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat
menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan
faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Suatu definisi yang dirumuskan
oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :Sosialisasi politik adalah
proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem
politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka
terhadap fenomena politik.
Proses
sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia
berkembang melalui keluarga, sekolah, peer
group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan,
dan partai politik. Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan
nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah
letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.
Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media
massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya.
Sisi
lain dari fungsi sosialisai politik partai adalah upaya menciptakan citra
(image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan
dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam
pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan
partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat
dengan partainya.
Ada
lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi
sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia
yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan
kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional.
·
Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi
ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan
internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan
internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya
dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan
lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik,
partai tidak akan sulit menentukan pemimpinnya sendiri dan mempunyai peluang
untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain
untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepntingan memperluas atau
memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang
untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa
(sebagai onderbouw) yang melibatkan
golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya,
kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas
dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan
melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen
politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.
·
Sebagai Sarana Pengatur Konflik
(Conflict Management)
Potensi
konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat
heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-ekonomi, ataupun agama.
Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu
terjadi di negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan
pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam
negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan
mudah mengundang konflik.
Di
sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau
sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya
dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di
antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Pada
tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart
(1968). Menurut Lijphart : Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa
bawah dapat diatasi oleh kerja sama di antara elite-elite politik. (Segmented
or subcultural cleavages at the mass level could be overcome by elite
cooperation). Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite
politik.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung
psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahanya. Selain
itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang
beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut
orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat
dan menemukan orang-orang yang cakap
untuk menduduki posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan
instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara
demokrasi.
Di
pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai malahan mempertajam
pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu msyarakat yang
rendah kadar konsensus nasionalnya, peran semacam ini dapat membahayakan
stabilitas politik.
2. Fungsi di Negara Otoriter
Hal-hal
yang dijelaskan di bagian terdahulu adalah fungsi-fungsi partai menurut
pandangan yang berkembang di negara yang menganut paham demokrasi. Kini,
marilah kita lihat bagaimana paham negara otoriter, misalnya bagaimana
komunisme di Uni Soviet memandang partai politik. Pada kenyataannya pandangan
tersebut memang berbeda. Contoh lain negara yang otoriter adalah China dan
Kuba. Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada
situasi apakah partai komunis berkuasa di negara di mana ia berada atau tidak.
Di negara dimana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain
dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja
untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan
mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang
banyak terdapat di negara-negara demokrasi) unutk mencari dukungan
seluas-luasnya, misalnya dengan jalan memupuk rasa tidak puas di kalangan
rakyat. Partai komunis bertujuan mencapai kedudukan kekuasaan yang dapat dijadikan
batu loncatan guna menguasai semua partai politik yang ada dan mneghancurkan
sistem politik yang demokratis. Maka dari itu, partai ini menjadi paling
efektif di negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.
Tujuan
partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah tercapainya masyarakat yang
modern dengan ideologi komunis, dan parati berfungsi sebagai “pelopor
revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai komunis Uni Soviet yang
berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Partai
komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan
rangkap. Supreme Soviet yang merupakan badan tertinggi diketuai oleh suatu
presidium yang anggota-anggotanya juga sebagai tokoh partai. Begitu pula halnya
dengan pimpinan semua badan kenegaraan seperti badan eksekutif dan badan
yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih berkuasa dari Presiden (ketua
presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan negara totaliter.
Partai
komunis juga melaksanakan beberapa fungsi, tetapi pelaksanaannya sangat berbeda
dengan yang ada di negara-negara demokrasi. Misalnya, dalam rangka berfungsi
sebagai sarana komunikasi politik partai menyalurkan informasi untuk
mengindoktrinasikan masyarakat dengan informasi yang menunjang usaha pimpinan
partai. Arus informasi lebih bersifat dari atas ke bawah, dari pada arus dua
arah.
Jadi,
dari uraian tadi dapat dikatakan bahwa fungsi partai politik di negara komunis
berbeda sekali dengan partai dalam negara yang demokratis. Mengenai perbedaan
ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut: Jika di negara demokrasi
partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka
partai komunis berfungsi untuk mengendalikan semua aspek kehidupan secara
monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan
integrasi warga negara ke dalam masyarakat umum, peran partai komunis ialah
untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yan
sejalan dengan kepentingan partai (enforcement
of conformity). Kedua fungsi ini diselenggarakan melalui propaganda dari
atas ke bawah.
3. Fungsi di Negara-Negara Berkembang
Di
negara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain,
demikian pula keadaan partai politiknya menunjukkan banyak sekali variasi.
Kecuali di beberapa negara yang berlandaskan komunisme, seperti Korea Utara,
partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan
massa yang luas dan kukuh.
Di
beberapa negara fungsi yang agak sukar dilaksanakannya ialah sebagai jembatan
antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Serimg golongan pertama banyak
mencakup orang yang kaya, sedangkan golongan yang “diperintah” banyak mencakup
orang miskin. Dengan demikian jurang di antara ke dua belah pihak sukar dijembatani.
Selain itu, partai politik sering tidak mampu menengahi pertikaian dalam
masyarakat dan persaingan antar-partai sering memperuncing situasi konflik, dan
malahan menimbulkan pertikaian yang baru. Keadaan semacam ini dapat mengalihkan
perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah
pembangunan lainnya yang menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat
berkembang.
Satu
peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk
memperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional, karena
negara-negara baru sering dihadapkan pada masalah bagaimana mengintegrasikan
berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial dan
pandangan hidupnya menjadi satu bangsa. Akan tetapi pengalaman di beberapa
negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi,
akan tetapi malah menimbulkan pengotakan dan pertentangan yang mengeras.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik,
sekalipun memiliki banyak kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana
penting dalam kehidupnya politiknya. Usaha melibatkan partai politik dan
golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek
dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin membangun
suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan
golongan-golongan politik lainnya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin
ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang usaha untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal
akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan
dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya di negara yang keabsahan
pemerintahannya sedikit banyak diuji oleh berjuta-juta rakyat dalan pemilihan
umum berkala, partai-partai politik dan organisasi kekuatan sosial politik
lainnya menduduki tempat yang krusial.
C. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Di
atas telah dibahas bermacam-macam jenis partai. Maurice Duverger dalam bukunya
Political Parties. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori, yaitu
sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi-partai.
1.
Sistem
Partai-Tunggal
Ada
sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai-tunggal
merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in terminis) sebab
suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian (pars). Namun demikian,
istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk
partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun
untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan di antara bebrapa partai lain.
Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.
Sistem
partai-tunggal adalah suatu keadaan dimana suatu Negara hanya memiliki satu
partai ataupun sautu partai memiliki kedudukan dominan dan tidak diperbolehkan
bersaing dengannya, sehingga partai-partai kecil harus menerima pimpinan dari
partai besar, bahkan dalam beberapa kasus, oposisi dari partai dominan dianggap
sebagai pengkhianatan.
Pola
partai-tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan
dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam
katagori ini. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif karena semua partai
harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing
dengannya.
Terutama
di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada kecenderungan kuat untuk
memakai pola sistem partai-tunggal karena pimpinan (sering seorang pemimpin
kharismatik) dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai
golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta padangan
hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak
diatur dengan baik akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat
usaha pembangunan. Padahal pembangunan itu harus memfokuskan diri pada suatu
program ekonomi yang future-oriented. Fungsi partai adalah meyakinkan atauu
memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan
utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara Afrika pindah ke
sistem multi-partai.
Negara
yang paling berhasil dalam menyingkirkan parta-partai lain ialah Uni Soviet
pada asa jayanya. Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang
non-kompetitif, tidak ada partai lain yang diperbolehkan bersaing, oposisi
dianggap sebagai pengkhianatan. Partai-tunggal serta organisasi yang bernaung
di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan
menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan kepentingaan rakyat secara
menyeluruh.
Di
Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan
pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negara-negara yang baru
melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi “motor
perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum
terentukk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap
berbau fasis.
2.
Sistem
Dwi-Partai
Dalam
kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa
ada dua partai di antara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat
teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian memepunyai
kedudukan dominan. Dan sistem ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri
sistem dwi-partai, yaitu Inggris, Amerika, Serikat, Filipina, Kanada, dan
Selandia Baru. Oleh Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah
khas Anglo Saxon.
Dalam
sistem ini partai-partai dengan jelas
dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum)
dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Degan demikian jelaslah
dimana letak tanggungjawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum. Dalam sistem
ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal
opposition) terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan
pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tanagan. Dalam persaingan
memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan
orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih
terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median vote).
Sistem
dwi-partai pernah disebut a convenient system for contented people dan memang
kenyataannya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila
terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi mansyarakat bersifat homogen, adanya
konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik,
dan adanya kontinuitas sejarah.
Pada
umunya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya
stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai
oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan peringatan sarjana ilmu politik
Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yang terpolarisasi sistem dwi-partai malahan
dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak
ada kelompok di tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.
Sistem
dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunaknnya sistem pemilihan single-member constituency (sistem
distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil
saja. Sistem pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil,
sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai. Di Indonesia pada tahun
1968 ada usaha untuk mengganti sistem multi-partai yang telah berjalan lama
dengan sistem dwi-partai, agar sisem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai
yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan
menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan
tetapi eksperimen dwi-partai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah,
ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam
eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.
3.
Sistem
Multi-Partai
Umumnya
dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan
ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku
bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan
ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja.
Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan
politik daripada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di
Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia.
Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28, sedangkan di
Federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem
multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan parlementer,
mempunyai kecenderungan untuk menitikberatkan kekuasaan pada badan legislative,
sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering
disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk memebentuk suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai
lain.
Pola
multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang
(Proportional Representation) yang memeberi kesempatan luas bagi pertumbuhan
partai-partai dan golongan-golongan baru. Melalui sistem perwakilan berimbang
patai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan
suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah
pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara ysng diperlukan guna memenangkan
satu kursi.
Indonesia mempuyai sejarah panjang dengan
berbagai jenis sistem multi-partai.Sistem ini telah melalui beberapa tahap
dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda.Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk
mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari
pengalaman masalah lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.
D. Partai Politik di Indonesia
Di
Indonesia partai politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama
kurang lebih 100 tahun.Di Eropa Barat, terutama di Inggris, partai politik
telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi beberapa kelompok
masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa.
Saat ini partai politik ditemukan dihampir semua Negara di dunia.
Umumnya dianggap bahwa partai
politik adalah sekelompok manusia terorganisir, yang anggota anggotanya sedikit
banyak mempunyai orientasi nilai nilai serta cita cita yang sama, dan yang
mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik serta mempertahankannya
guna melaksanakan program yang telah ditetapkannya.
Di Indonesia kita terutama mengenal
sistem multi-partai, sekalipun gejala partai–tunggal dan dwi-partai tidak asing
dalam sejarah kita.Sistem yang kemudian berlaku berdasarkan sistem tiga
orsospol dapat dikategorikan sebagai sistem multi-partai dengan dominasi satu
partai. Tahun 1998 mulai masa reformasi, Indonesia kembali ke sistem
multi-partai (tanpa dominasi satu partai).
Menurut UU no. 31 pasal 1 tahun
2002, partai politik adalah organisasi politik yg dibentuk oleh sekelompok
warga Negara republic Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
Negara melalui pemilihan umum. Pembentukan partai politik tersebut adalah
jaminan dari hak warga Negara yang tercantum dalam konstitusi yang menjelaskan
bahwa setiap warga Negara memiliki kebebasan atas berserikat, berkumpul, dan
berpendapat.Selain itu, kebebasan yang berkaitan dengan berkumpul dan
berpendapat juga tercantum dalam hukum hak asasi manusia
internasional.Pembentukan partai politik juga merupakan makna dari paham
demokrasi dimana rakyat memiliki hak untuk menentukan representasi politik
sebagai sarana kehendak dan kemauan bersama.
Akan tetapi, representasi langsung
rakyat akan sulit dilaksanakan, oleh karena itu lembaga parlemen yang
dibutuhkan sebagai alat agregasi aspirasi masyarakat luas. Selain itu, partai
politik merupakan hal yang berarti bagi sistem demokrasi bernegara karena
proses kelembagaan demokrasi dipengaruhi oleh kelembagaan politik. Pasal 20
ayat 1 UDHR 1948, Ps. 21 – 22 ICC PR 1996 / UU NO.12 tahun 2005 partai politik
tidak dapat lepas dari perananny sebagai actor politik Negara. Partai politik
berfungsi sebagai representasi rakyat dalam parlemen, rekrutmen politik,
menentukan arah Negara melalui kebijakan dipemerintahan, artikulasi dan
agregasi kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi, serta pengorganisasian
pemerintah dalam menjaga kestabilan politik bernegara.
E. Perkembangan Partai Politik Dimasa
Orde Baru
Partai
politik dimasa orde baru, kehidupan politik di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kestabilan
politik. Kestabilan politik dimasa orde
baru didapat melalui kebijakan represi terhadap aktor politik yang memiliki
potensi untuk melakukan kegiatan oposisi terhadap pemerintahan. Kebijakan
politik yang terjadi adalah dwifungsi ABRI, penekanan terhadap Organisasi Non
Pemerintah (ornop), pembatasan pers, penyerdehanaan politik, dan pembatasan
kegiatan politik diluar ruangan, seperti kegiatan politik mahasiswa serta civil
society. Stabilitas politik dilakukan dengan mengatasnamakan pembangunan, entah
itu benar atau tidak, meski banyak wacana menyiratkan stabilitas yang terjadi
pada masa orde baru adalah bentuk melanggengkan kekuasaan. Konstelasi partai
politik di Indonesia pada masa orde baru merupakan sasaran dari kebijakan
stabilitas politik.Karakteristik yang menonjol pada konstelasi partai politik
saat itu adalah aksi penyerderhanaan partai politik yang dilaksanakan oleh
pemerintahan. Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanaan jumlah partai
tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan
penggabungan atau fusi sejumlah partai. Sehingga pelaksanannya kepartaian tidak
lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan
tersebut menghasilkan 3 kekuatan sosial-politik, yaitu :
·
Partai yang memiliki basis ideologi
islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi,
PSII, dan partai islam perti yang dilakukan pada tanggal 5 januari 1973.
·
Partai yang memiliki basis ideologi
nasionalis, partai yang Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari
PNI, partai katolik, partai murba, IPKI, dan Parkindo.
·
Golongan karya (Golkar), terdiri dari 7
kelompok induk organisasi (kino) yang bersifat kekaryan.
Sistem
kepartaian yang terdiri masa orde baru dapat dikatakan sebagai sistem partai
politik tripartai karena hanya terdapat tiga partai politik yang legal dan
fungsional. Masa orde baru, tidak diperkenalkan istilah politik oposisi. Hal
ini menyebabkan ruang gerak partai politik yang tidak dominan menjadi sulit
untuk mengeluarkan aspirasi. Peran PDI dan PPP tidak disignifikan dalam sejarah
orde baru karena kedua partai dibuat sedemikian rupa. Sehingga kedua partai
dapat didominasi oleh Soeharto sebagai eksekutif pemerintah yang menggenggam
kekuasaan legislative juga. Misalnya oposisi pada masa ini berdampak buruk pada
citra demokrasi orde baru.Secara nyata, kedua partai PDI dan PPP hanya
berfungsi secara semu dan sebagai pelengkap arti demokrasi dikala itu. Oleh
karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa sistem partai politik pada masa
orde baru bukan lagi tripartai melainkan sistem partai politik satu-setengah.
Perkembangan
partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI adalah dengan dibubarkannya PKI dan
dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu
Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa
hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah 2 dengan rehabilitasinya murba dan
terbentuknya partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri tahun 1964,
semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru.
Dalam masa Orde
Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama
lebih berusaha disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar
demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 1999 yang memungkinkan lahirnya
partai – partai baru dalam percaturan di Indonesia. Namun dari sekian banyak
partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional
(PAN).
Mencermati
perubahan-perubahan politik antar waktu sepanjang Indonesia merdeka dan dengan
meminjam kategori teoritis dari Amitai Etziono (1961) maka kita dapat membagi
massa politik kedalam tiga kategori besar. Yaitu : (1) massa moral; (2) massa
kalkulatiaf; dan (3) massa alienatif.
Massa
moral adalah massa yang potensial terikat secara politik pada satu orsospol
karena loyalitas normative yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional,
tidak kritis terhadap krisis-krisis empirik, serta “menumpuk” dikantong - kantong
politik pedesaan.
Massa
kalkulatif adalah massa perkotaan yang kritis dan sangat akrab dengan
modernitas. Massa ini menempati lapisan tengah struktur masyarakat orde baru,
memiliki sifat - sifat kosmopolit dan amat peduli dan kritis terhadap
krisis-krisis empirik yang dihadapi masyarakat disekelilingnya.
Massa
alienatif adalah massa yang “bodoh” atau terbodohi secara structural dan
terpaksa menjadi bodoh karena rigiditas struktur politik. Dalam konteks orde
baru, mereka untuk meminjam istilah Samuel P. Huntington dan Joan M Nelson
(1990) dapat dipandang sebagai “korban-korban mobilisasi politik kearah
ideologi pembangunan dan penataan tertib politik”.
Massa
moral memang tetap menjadi massa terbesar secara kuantitas, namun ditengah
modernitas, mereka menjadi “sisa-sisa politik masa lalu”. Kecenderungan
kontemporer yang kita saksikan adalah masa moral semakin akrab bersentuhan
dengan modernitas. Hasilnya mereka menjadi semakin kalkulatif. Massa alienatif
yang kuantitasnya juga besar mengalami
pula pergeseran serupa. Dalam konteks orde baru kontemporer, massa alienatiflah
yang paling merasa dikhianati oleh negara. Akhirnya massa alienatif ini makin
tereduksi jumlahnya karena beralih pula menjadi kalkulatif.
F. Perkembangan Partai Politik Pada
Masa Reformasi
Perubahan
yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan
partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan masa
politik, dan kian mengkristalnya kompetisi merebutkan sumber daya politik.
Hakikat
reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan-kekuatan
masyarakat yang disalurkan melalui partai partai politik sebagai pilar
demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang
kemudian yang disempurnakan dengan UU No. 31 Tahu 2002 yang memungkinkan
lahirnya partai-partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun
dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang
signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Partai Golkar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai
Amanat Nasional (PAN) .
Pada
tanggal 18 mei, Harmoko, ketua MPR, terang terangan meminta Soeharto
mengundurkan diri demi kepentingan nasional. Setelah Soeharto turun dari
jabatannya, jabatan presiden dipegang oleh BJ.Habibie.Era ditandai oleh
euphoria politik yang luar biasa berupa kebebasan bagi rakyat untuk mendirikan
partai politik. Hasilnya, hanya dalam waktu sekitar 1 tahun telah berdiri 181
parpol, dimana yang bisa diterima oleh Departmen Kehakiman sebanyak 141 parpol.
Dari 141 parpol hanya 48 yang berhak mengikuti pemilu 1999.
Sistem kepartaian di Indonesia
kembali menganut sistem multipartai, seperti pada tahun 1950-an. Hanya bedanya,
sistem multipartai pada tahun 1950-an berkembang dalam Demokrasi Liberal dan
pemerintahannya berbentuk parlementer. Sedangkan sistem multi-partai yang
berkembang pasca reformasi berkembang dalam sistem pemerintahan presidensial sehingga
tentu saja hal ini menuntut prosedur yang berbeda.
1.
Partai Golongan Karya (Golkar)
2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Naiknya
megawati sebagai ketua PDI pada 1993 mengantikan Soeryadi merupakan tantangan
eksternal bagi Soeharto. Ini menjadi ancaman serius orde baru karena dua alasan
pokok, yaitu: (1) megawati adalah putri soekarno yang mewarisi charisma ayahnya
dalam menggalang kekuatan massa, dan (2) megawati mendapatkan dukungan yang
besar dari pengurus dan massa PDI. Oleh karena itu megawati diturunkan
kedudukannya lewat kongres PDI di Medan pada Juni 1996 yang akhirnya menaikkan
kedudukan soeryadi. Namun akibatnya, PDI pecah menjadi dua. Megawati memimpin
PDI dan menambahkan Perjuangan pada nama partainya itu dan justru semakin mendapat
simpati dan dukungan dari masyarakat luas. Apalagi stelah munculnya kasus 27
juli 1996, yaitu kasus pengambil alihan kantor pusat PDI di Jakarta secara
paksa oleh soeryadi yang melibatkan campur tangan pemerintah soeharto, yang
mengakibatkan ratusan korban Pro PDI megawati terluka.
3. Partai Amanat Nasional’
Partai
ini dibentuk oleh Amien Rais, PAN sendiri merupakan partai islam. Amien Rais
muncul sebagai tokok intelektual yang berperan penting setelah jatuhnya rezim
orde baru. Disbanding dengan parai-partai islam lainnya PAN tampak unggul dalam
hal platform dan performance. PAN menjelma sebagai partai islam reformis, dan
melebarkan pengaruhnya dikalangan penduduk perkotaan, mahasiswa, dan mereka
yang perduli pada perubahan-perubahan politik.
4.
Partai Kebangkitan Bangsa
Partai
kebangkitan bangsa didirikan oleh Abdurrahman Wahid. Parai kebangkitan bangsa
(PKB) lahir lebih cepat dari PAN sebagai wujud dari kekecewaaan NU terhadap
rezim soeharto yang dirasakn sangat memarjinalkan peran ormas islam terbesar.
Jika PAN lebih mewakili suara masyarakat perkotaan, PKB lebih mewakili suara
masyarakat pedesaan. Berbeda dengan partai islam lainnya, PKB melakukan
pendekatan dengan partai lain, yaitu dengan partai PDIP. Hal ini di karenakan,
Gusdur (Abdurrahman Wahid) menjalin hubungan dekat dengan megawati.Akibat dari
kegusaran Gusdur terhadap politik belah bamboo soeharto terhadap PPP.Itulah
sebabnya dalam pemilu 1987 dan 1992 banyak pemilih NU yang mendukung PDI
soeryadi.
5.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan partai keturunan Masyumi. Pada pemilu
1999, PPP menempati peringkat ke 4.
6.
Partai Bulan Bintang (PBB)
Pendiri
PBB adalah Yusril Ihza Mahendra.Ia merupakan pengagum Masyumi dan seorang
intelektual muda. Yusril Ihza Mahendra tampak cukup dekat dengan pemerintah
orde baru menjelang berakhirnya rezim soeharto mempunyao tekad yang kuat untuk
mendirikan partai politik islam.
7.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai
ini mempunyai pendukung dari kalangan mahasiswa seluruh Indonesia, khusunya di
pulau jawa. Partai ini mempunyai misi yang berbeda dengan partai islam lainnya,
mereka sangat percaya pada kebenaran islam dan ingin menjadikan dakwah sebagai
tujuan utama partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar