Rabu, 23 Desember 2015

Amanah untuk Manusia



22/12/2015

Amanah untuk Manusia

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS al-Ahzab [33]: 72-73).

syariah yang dibebankan kepada manusia merupakan amanah. Sebagaimana layaknya amanah, syariah tersebut wajib dipikul dan ditunaikan. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, apalagi ditolak dan diingkari. Memang, amanah tersebut tidak ringan hingga langit, bumi, dan gunung pun tidak sanggup untuk memikulnya. Namun bagi orang yang mau menunaikannya, Allah SWT akan memberikan ampunan terhadapnya. Juga, pahala yang besar, surga, dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang sengaja menelantarkannya, terlebih mengingkari dan menolaknya, akan ditampakan azab atasnya. Ayat ini adalah di antara yang menjelaskan perkara tersebut.

Hanya Manusia
Allah SWT berfirman: Innâ ‘aradhnâ al-amânah ‘alâ al-samâwât wa al-ardh wa al-jibâl (sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung). Kata al-amânah merupakan bentuk mashdar seperti halnya kata al-amn dan al-amân (keamanaan, ketenteraman). Dalam konteks ayat ini, kata amanah bermakna ketaatan dan berbagai kewajiban yang diwajibkan atas hamba-Nya. Demikian al-Baghawi dalam tafsirnya. Al-Jazairi menafsirkannya sebagai semua taklif  syar’i dan segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik berupa harta, perkataan, kehormatan, maupun perbuatan. Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa amanah tersebut meliputi semua tugas agama. Menurutnya, ini merupakan pendapat jumhur. Tak jauh berbeda, Ibnu Jarir al-Thabari juga mengatakan pengertian amanah dalam ayat ini mencakup semua makna amanah dalam agama dan amanah manusia. Pasalnya, Allah SWT tidak mengkhususkan dalam firman-Nya: ‘aradhnâ al-amânah hanya menunjuk sebagian makna amanah.
Penggunaan kata amanah, menurut Sihabuddin al-Alusi, merupakan peringatan bahwa semua taklif tersebut merupakan hak-hak yang harus dipelihara; dititipkan dan dipercayakan Allah kepada para mukallaf; dan diwajibkan atas mereka untuk ditunaikan dengan penuh ketaatan dan ketundukan; diperintahkan untuk dipelihara, dijaga, dan ditunaikan tanpa melanggarnya sedikit pun.

Diberitakan dalam ayat ini, bahwa Allah SWT telah menawarkan amanah tersebut kepada tiga makhluk-Nya yakni langit, bumi, dan gunung.  Akan tetapi, semua makhluk yang besar dan kuat fisiknya tersebut menolaknya. Allah SWT berfirman: Fa abayna an yahmilnahâ wa asyfaqna minhâ (maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya).

Kata abâ berarti enggan untuk menerima tawaran tersebut. Hanya saja, sikap itu bukan didasarkan oleh sikap takabbur sebagaimana Iblis ketika menolak bersujud kepada Adam. Sebaliknya, sikap tersebut justru disebabkan oleh sikap merasa dirinya rendah dan lemah. Kesimpulan ini dikukuhkan dengan frasa sesudahnya: wa asyfaqna minhâ. Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Baghawi dalam tafsirnya, mereka merasa takut tidak bisa menjalankan amanah tersebut sehingga mendapatkan hukuman karenanya. Ditegaskan juga oleh Abdurrahman al-Sa’di, penolakan semua benda tersebut disebabkan oleh ketakutan mereka tidak bisa memikul amanah. Bukan karena kemaksiatan terhadap Tuhan mereka dan tidak menginginkan pahala-Nya.

Menurut Fakhruddin al-Razi, sekalipun ketiga benda tersebut kuat, akan tetapi amanah Allah SWT melebihi kekuatan mereka. Abu Hayyan al-Andalusi juga mengatakan, tawaran amanah kepada sejumlah benda tersebut memberikan makna ta’zhîm[an] (pengagungan) terhadap perkara taklif.

Sikap ketiga benda tersebut bertolak belakang dengan sikap manusia. Allah SWT berfirman: Wa hamalahâ al-insân, (dan dipikullah amanah itu oleh manusia). Kata al-insân menunjuk Adam as dan keturunannya. Demikian penjelasan al-Jazairi. Secara fisik, manusia jelas jauh lebih kecil dan lebih lemah dari semua makhluk tersebut. Allah SWT berfirman: Dan manusia dijadikan bersifat lemah (TQS al-Nisa’ [4]: 28). Akan tetapi, manusia bersedia menerima tawaran tersebut.

Kemudian disebutkan: Innahu kâna zhalûm[an] jahûl[an] (sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh). Kata dzalûm[an] berarti katsîr al-zhulm li nafsihi (banyak menzalimi dirinya sendiri). Sedangkan jahûl[an] artinya bodoh terhadap akibat.

Balasan bagi Kaum Munafik. Musyrik, dan Mukmin
Setelah diberitakan tentang sikap manusia yang mau menerima tawaran amanah, kemudian diberitakan mengenai tentang konsekuensi atas sikap tersebut. Allah SWT berfirman: liyu’adzibbal-Lâh al-munâfiqîn wa al-munãfiqât wa al-musyrikîn wa al-musyrikât (sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan). Orang munafik adalah orang yang menampakkan keimanan karena takut kepada kaum Mukmin dan menyembunyikan kekufurannya untuk mengikuti kaum kafir. Sedangkan orang musyrik adalah orang yang lahir dan batinnya menyekutukan Allah dan menyelesihi rasul-Nya. Demikian penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Terhadap semua orang kafir tersebut, baik berusaha menyembunyikan kekufurannya maupun yang menunjukkannya secara terang-terangan, Allah SWT  menimpakan azab. Dikatakan Muqatil, mereka diazab karena telah mengkhianati amanah dan melanggar perjanjian.

Selanjutnya Allah SWT berfirman: wa yatûbal-Lâh ‘alâ al-mu`minîn wa al-mu`minât (dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan). Jika orang munafik dan musyrik adalah orang-orang yang mengkhianati amanah, maka orang Mukmin bersikap sebaliknya. Mereka adalah orang-orang yang berupaya menjaga, memelihara, dan menunaikan amanah tersebut. Terhadap mereka Allah SWT berjanji untuk memberikan ampunan. Artinya, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, mereka kembali kepada Tuhannya dengan mendapatkan ampunan dan rahmat apabila melalaikan terhadap sebagian ketaatan. Oleh karena itu, disebutkan dengan lafadz al-tawbah. Ini menunjukkan bahwa orang Mukmin yang bermaksiat kemudian bertobat akan terlepas dari azab.

Kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Wa kânal-Lâh Ghafûr[an] Rahîm[an] (dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Dalam ayat sebelumnya disebutkan dua sifat manusia, yakni: al-zhalûm dan al-jahûl. Kemudian dalam ayat ini disebutkan dua sifat Allah SWT, yakni: Ghafûr dan Rahîm. Artinya, Ghafûr li al-zhalûm (Maha Mengampuni orang zalim) dan Rahîm ‘alâ al-jahûl (Maha Penyayang terhadap orang bodoh). Hal itu disebabkan karena telah Allah SWT berjanji kepada hamba-Nya untuk mengampuni semua kezaliman kecuali kezaliman yang besar, yakni syirik sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (TQS Luqman [31]: 13). Mengenai janji ampunan disebutkan dalam firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (TQS al-Nisa’ [4]: 48).

Sedangkan al-rahmah (kasih sayang) terhadap orang bodoh karena sesungguhnya kebodohan merupakan tempat yang layak bagi rahmat. Oleh karena itu, orang yang berbuat salah meminta maaf dengan perkataan, “Saya tidak tahu.”
Demikianlah. syariah yang dibebankan kepada kita harus dijalankan secara totalitas. Tidak boleh ada yang ditelantarkan dan disia-siakan. Ancaman azab bagi orang orang-orang munafik dan musyrik -orang-orang yang menolak dan mengingkari syariah– harus membuat kita takut untuk melakukan tindakan serupa.  Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1.      syariah yang dibebankan adalah amanah yang harus ditunaikan.
2.      Langit, bumi, dan gunung tidak mau menerima tawaran amanah tersebut, namun manusia sebagai makhluk yang lebih lemah justru mau menerimanya.
3.      Allah SWT mengazab orang-orang munafik dan musyrik; dan mengampuni orang-orang Mukmin.

http://hizbut-tahrir.or.id/2012/04/11/amanah-untuk-manusia/


Kegiatan Kerja Bakti dan Gotong Royong
Gotong royong merupakan suatu kegiatan bersama yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari zaman daulu kala hingga saat ini. Perilaku gotong royong telah dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu. Gotong royong merupakan keperibadian bangsa dan merupakan budaya yang telah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Gotong royong tumbuh dari kita sendiri, perilaku dari masyarakat. Rasa kebersamaan ini muncul karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari setiap individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini.
Gotong royong merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Karena ini merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, kita tetap menjadi kesatuan yang kukuh. Inilah alah satu budaya bangsa yang membuat Indonesia, dipuja dan puji oleh bangsa lain karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antarsesama manusia.
Gotong royong adalah sikap hidup, cara kerja, dan kebiasaan yang sudah dikenal bangsa Indonesia. Dengan bergotong royong, banyak hal yang telah dilakukan bangsa kita di masa lalu, mulai dari mendirikan rumah, mengerjakan sawah, membantu tetangga yang sedang berduka hingga saling bahu-membahu berjuang dan memproklamasikan kemerdekaan negara. Dengan bergotong royong, semua tugas berat akan menjadi lebih ringan.
Sebagai warga negara Indonesia, kita hidup bersama suku bangsa yang lain sebagai satu bangsa. Bangsa kita punya tujuan yang sama yaitu memajukan bangsa ini. Untuk meraih tujuan tersebut maka kita seharusnya selalu siap untuk bekerja sama dengan semangat gotong royong. Dengan adanya kesadaran setiap lapisan masyarakat mau melakukan setiap kegiatan dengan cara bergotong royong. Segala sesuatu yang akan dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di daerah tersebut akan semakin lancar dan maju.
Kita dapat membandingkan sikap bergotong royong dengan sikap individualisme yang akan memperlambat pembangunan. Sifat gotong royong di daerah perdesaan dapat dilihat pada kegiatan memperbaiki dan membersihkan jalan, atau membangun/memperbaiki rumah. Di daerah perkotaan sikap gotong royong masih dapat dijumpai dalam kegiatan kerja bakti di RT/RW, Dengan semangat gotong royong timbullah rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong sehingga dapat terbina rasa kesatuan dan persatuan nasional.

Semangat gotong royong didorong oleh kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendiri, tetapi hidup bersama dengan orang lain atau lingkungan sosial, pada dasarnya manusia itu bergantung pada manusia lainnya, manusia perlu menjaga hubungan baik dengan sesamanya;, dan manusia perlu menyesuaikan dirinya dengan anggota masyarakat yang lain.

























Pengertian Cinta Kasih dan Sayang
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian cinta kasih. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwodarminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang (kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. Dengan demikian, arti cinta dan kasih itu hamper sama sehingga kata kasih dapat dikatakan lebih memperkuat rasa cinta. Oleh karena itu, cinta kasih dapat diartikan sebagai perasaan suka (sayang) kepada seseorang yang disertai dengan menaruh belas kasihan.
Walaupun cinta dan kasih mengandung arti yang hamper sama, antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu cinta lebih mengandung pengertian tentang rasa yang mendalam, sedangkan kasih merupakan pengungkapan untuk mengeluarkan rasa, mengarah pada orang atau yang dicintai. Dengan kata lain, bersumber dari cinta yang mendalam itulah kasih dapat diwujudkan secara nyata.
Erich Fromm (1983: 24-27) dalam bukunya Seni Mencintai menyebutkan bahwa cinta itu terutama member, bukan menerima, dan member merupakan ungkapan yang paling tinggi dari kemampuan. Yang paling penting dalam member adalah hal-hal yang sifatnya manusiawi, bukan materi. Cinta selalu menyertakan unsure-unsur dasar tertentu, yaitu pengasuhan, tanggung jawab, perhatian, dan pengenalan.
Dr. Sarlito W. Sarwono mengemukakan bahwa cinta itu memiliki tiga unsure, yaitu ketertarikan, keintiman, dan kemesraan. Keterikatan adalah perasaan untuk hanya bersama dia, segala prioritas hanya untuk dia. Keintiman yaitu adanya kebiasaan-kebiasaan dan tingkah laku yang menunjukan bahwa antara Anda dan dia sudah tidak ada jarak lagi sehingga panggilan-panggilan formal seperti Bapak, Ibu, Saudara digantikan dengan sekedar memanggil nama atau sebutan seperti sayang. Sedangkan kemesraan adalah adanya rasa ingin membelai atau dibelai, rasa kangen jika jauh dan lama tidak bertemu, adanya ucapan-ucapan yang mengungkapkan rasa sayang. Ketiga unsur cinta tersebut sama kuatnya, jika salah satu unsur cinta itu tidak ada maka cinta itu tidak sempurna atau dapat disebut bukan cinta.
Secara sederhana cinta kasih adalah perasaan kasih sayang yang dibarengi unsur terikatan, keintiman dan kemesraan (Cinta Ideal / Segitiga Cinta) di sertai dengan belas kasihan, pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung jawab. Tanggung jawab yang diartikan akibat yang baik, positif, berguna, saling menguntungkan, menciptakan keserasian, keseimbangan dan kebahagiaan.
2.2  Pengertian Kasih Sayang
Pengertian kasih sayang menurut kamus umum bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadaminta yitu perasaan sayang, perasaan cinta atau perasaan suka pada seseorang. Dalam berumah tangga kasih sayang merupakan kunci kebahagiaan. Kasih sayang ini merupakan pertumbuhan dari cinta. Dalam kasih sayang sadar atau tidak dituntut tanggung jawab, pengorbanan, kejujuran, saling percaya, saling pengertian, saling terbuka,  sehingga keduannya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Seorang remaja menjadi frustasi, morfinis, berandalan dan sebagainya itu disebabkan karena kekurangan perhatian dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga.
2.3  Macam-macam Cinta
Menurut Erich Fromm (1983 : 54) dalam bukunya Seni Mencintai mengemukakan tentang adanya berbagai macam-cinta yang dapat di uraikan sebagai berikut :
Cinta Diri Sendiri
Secara alami manusia mencintai dirinya sendiri (self love) dan banyak orang yang menafsirkan cinta diri sendiri diidentikan dengan egoistis. Jika demikian cinta diri sendiri ini bernilai negatif. Namun apabila diartikan bahwa cinta diri sendiri adalah mengurus dirinya sendiri, sehingga kebutuhan jamsmani dan rohaninya terpenuhi seimbang  ini bernilai positif. Dengan demikian cinta terhadap dirinya tidak harus dihilangkan tetapi harus berimbang dengan cinta kepada orang lain untuk berbuat baik.
Cinta Sesama Manusia / Persaudaraan
Cinta kepada sesama manusia atau persaudaraan (agape. Bahasa Yunani) itu merupakan watak manusia itu sendiri dan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatannya kepada sesama manusia. Perbuatan dan perlakuan yang baik kepada sesama manusia bukan berarti karena seseorang itu membela, menyetujui, mendukung dan berguna, bagi dirinya, melainkan dating dari hati nuraninya yang ikhlas disertai tujuan yang mulia. Motivasi perbuatan dan perlakuan seseorang mencintai sesama manusia itu disebabkan karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian (manusia sebagai makhluk social) dan sudah merupakan suatu kewajiban.
Cinta Erotis
Cinta yang erat dorongannya dengan dorongan seksual (sifat membirahikan) ini merupakan sifat eksklusif (khusus) yang bias memperdayakan cinta yang sebenarnya. Hal itu dikarenakan cinta dan nafsu tersebut letaknya tidak berbeda jauh. Disi lain Cinta erotis jika didasari dengan cinta ideal, kasih sayang, keserasian maka berfungsi dalam melestarikan keturunan dalam ikatan yang sah yaitu pernikahan. Sebaliknya jika tidak didasari kasih sayang yaitu nafsu yang membutakan akal pikiran sehingga yang ada hanya nafsu birahi didalamnya akan timbul rasa ketidak puasan bias berakhir dengan sebuah perceraian bahkan akan mungkin timbul juga perselingkuhan atau ke tempat pelacuran yang didalamnya tidak mungkin akan timbul rasa kasih sayang karena yang ada hanya nafsu birahi berhubungan badan saja, dengan uang sebagai bayarannya.

Cinta Keibuaan
Kasih sayang itu bersumber dari cinta keibuan, yang paling asli dan yang terdapat pada diri seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Ibu dan anak terjalin suatu ikatan fisiologi. Seorang ibu akan memelihara anaknya dengan hati-hati penuh dengan kasih sayang dan naluri alami seorang ibu. Sedangkan menurut para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa dorongan kebapakan bukan karena fisologis, melainkan dorongan psikis.
Cinta terhadap Allah
Merupakan puncak cinta manusia, yang paling jernih, spiritual dan yang dapat memberikan tingkat perasaan kasih sayang yang luhur, khususnya perasaan simpatik dan sosial. Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan membuat cinyta menjadi kekuatan pendorong yang mengarahkannya dalam kehidupan dan menundukkan semua bentuk cinta yang lain.
Cinta terhadap Rasul
Ini merupakan ideal yang sempurna bagi manusia baik dalam tingkah laku, moral, maupun berbagai sifat luhur lainnya.
2.4  Mewujudkan Cinta Kasih
Untuk dapat mewujudkan cinta kasih dan sayang dalam kehidupan agar tentram damai dan bahagia dapat dengan cara :
Cara mewujudkan cinta diri sendiri
Dapat dilakukan dengan mengurus dirinya sendiri, sehingga kebutuhan jasmani dan rohani dirinya sendiri terpenuhi secara wajar. Contohnya mandi, menyisir rambut, memaka wangi- wangian, mengenakan baju yang sopan tidak melanggar adat atau norma yang ada.
Cara mewujudkan cinta sesama manusia / persaudaraan
Dapat dilakukan dengan perbuatan yang bersifat sosial dan kemanusian. Contohnya saling tolong menolong, kerja bakti, saling tepo seliro, Jean Henry Dunant ( 1882-1910) seorang bankir dan penulis berkebangsaan Swiss yang atas suka relanya menolong setiap orang yang menderita luka-luka dalam pertempuran Solferino (1859) mendirikan Palang Merah International (1863)
Cara mewujudkan cinta erotis
Dapat dilakukan apabila dilandasi dasar cinta kasih yang bertanggung jawab dan tidak melanggar adat atau norma yang ada. Contohnya cinta eotis seorang lelaki terhadap perempuan yang di sudah di ikat pernikahan di dasari percintaan.



Cara mewujudkan Cinta Keibuan
Dapat dilakukan dengan dilandasi kasih sayang ibu yang tak terhingga terhadap anaknya dari sejak dikandung, melahirkan, dan mengurus sampai menikahkan dengan tanpa pamrih sedikitpun dan doanya yang selalu menginginkan dan melihat anaknya bahagia di jauhkan dari segala kesusahan.
Cara mewujudkan Cinta kepada Allah
Dapat dilakukan dengan dilandasi cinta yang teramat sangat dan meniadakan Tuhan selain Allah dengan beraqidah yang kokoh dan bertaqwa atau menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan yang sudah di tentukan Nya.
Cara mewujudkan Cinta kepada Rasull
Dapat dilandasi dengan cinta dengan mencontoh suri teladan yang baik yang ada pada diri rasul yaitu sidiq, tablig, amanah, dan fatonah yang di laksanakan setiap saat selama masih diberi kehidupan oleh sang maha hidup.








KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN ISLAM


KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Manusia Menurut Pandangan Islam
Allah SWT menciptakan struktur kepribadian manusia dalam bentuk potensial. Struktur itu tidak secara otomatis bernilai baik ataupun buruk, sebelum manusia berusaha mengaktualisasikan. Aktualisasi struktur sangat tergantung pada pilihan manusia, yang mana pilihannya itu akan dimintai pertanggungjawaban diakhirat kelak. Upaya manusia untuk memilih dan mengaktualisasikan potensi itu memiliki dinamika proses, seiring dengan variabel-variabel yang mempengaruhi.

1. Manusia Adalah Makhluk Allah
Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa, Allah Robbul ‘Alamin. Dengan demikian, manusia dalam hidupnya mempunyai ketergantungan (dependent) kepada-Nya. Manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Sebagai makhluk, manusia berada dalam posisi lemah (terbatas), dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya.
Dalam Al-Qur’an, Surat at-Tin: 4, Allah SWT berfirman:
“sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat baik (sempurna)”.
Manusia adalah makhluk Allah, ciptaan Allah, dan secara kodrati merupakan makhluk beragama atau pengabdi Allah, seperti tercermin dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Muslim).
Sesuai dengan fitrahnya tersebut, manusia bertugas untuk mengabdi kepada Allah, seperti difirmankan Allah sebagai berikut.
(Q.S. Adz Dzariyat: 56).
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”

2. Manusia Adalah Khalifah di Muka Bumi
Hal ini berarti, manusia berdasarkan fitrahnya adalah makhluk sosial yang bersifat altruis (mementingkan/membantu orang lain). Menilik fitrahnya ini, manusia memiliki potensi atau kemampuan untuk bersosialisasi, berinteraksi sosial secara positif dan konstruktif dengan orang lain atau lingkungannya. Sebagai khalifah manusia mengemban amanah, atau tanggung jawab (responsibility) untuk berinisiatif dan berpartisipasi aktif dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera; dan berupaya mencegah (preventif) terjadinya pelecehan nilai-nilai kemanusiaan dan perusakan lingkungan hidup (regional-global).



Dalam Surat Al-Baqarah: 30 difirmankan sebagai berikut:
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya aku menciptakan khalifah di muka bumi”.
Selanjutnya dalam Surat Hud: 61 difirmankan:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)”
Manusia menciptakan kebudayaan dengan segala unsurnya (ilmu, teknologi, seni, dan sebagainya) agar mampu mengelola alam itu dengan sebaik-baiknya. Manusia menurut islam merupakan “khalifah di muka bumi”. Artinya manusia berfungsi sebagai pengelola alam dan memakmurkannya. Ini tersurat dan tersirat dari firman Allah sebagai berikut. (Q.S. Fatir: 39).
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi (Q.S. Fatir: 39). Selanjutnya Allah berfirman: Dan Dia menundukkan untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya (Q.S. Al-Jasiyah: 3).

3. Manusia adalah Makhluk yang Mempunyai Fitrah Beragama
Melalui fitrahnya ini manusia mempunyai kemampuan untuk menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, dan sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai tolak ukur atau rujukan perilakunya.
Allah SWT berfirman: “.......bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, ya kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. (Al-‘Araf: 172).

4. Manusia Berpotensi Baik (Takwa) dan Buruk (Fujur)
Manusia dalam hidupnya mempunyai dua kecenderungan atau arah perkembangan, yaitu takwa, sifat positif (beriman dan beramal shaleh) dan yang fujur, sifat negatif (musyrik, kufur, dan berbuat ma’syiat/jahat/buruk/dzalim). Dua kutub kekuatan ini, saling mempengaruhi. Kutub pertama mendorong individu untuk berperilaku yang normatif (merujuk nilai-nilai kebenaran), dan Kutub lain mendorong individu untuk berperilaku secar inpulsif (dorongan naluriah, instinktif, hawa nafsu). Dengan demikian, mmanusia dalam hidupnya senantiasa dihadapkan pada situasi konflik antara benar-salah atau baik-buruk.
Dalam Surat Asy-Syamsu: 8-10, difirmankan:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia sifat fujur dan takwa. Sungguh bahagia orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya”.


5. Manusia Memiliki Kebebasan Memilih (Free Choice)
Dalam surat Ar-Ra’du: 11, Allah berfirman:
“ Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang dimiliki (termasuk dirinya) suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah (berinisiatif merekayasa) dirinya sendiri”.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih kehidupannya, apakah mau beriman atau kufur kepada Allah. Apakah manusia akan memilih jalan hidup yang sesuai dengan ajaran agama atau memperturutkan hawa nafsunya. Dalam hal ini, manusia mempunyai kemampuan untuk berupaya menyelaraskan arah perkembangan dirinya dengan tuntutan normatif, nilai-nilai kebenaran, yang dapat memberikan kontribusi atau nilai manfaat bagi kesejahteraan umat manusia; juga memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan yang berseberangan dengan nilai-nilai agama, sehingga menimbulkan suasana kehidupan (personal-sosial) yang chaos, anarki, destruktif atau tidak nyaman.[1]

B. Definisi Kepribadian Islam

1. Makna Etimologi Kepribadian Islam
Personality berasal dari kata “person” yang secara bahasa memiliki arti: 
(1) an individual human being (sosok manusia sebagai individu);
 (2) a common individual (individu secara umum);
 (3) a living human body (orang yang hidup);
 (4) self (pribadi); personal existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan 
(6) distinctive personal character (kekhususan karakter individu).
Sedangkan dalam bahasa Arab , pengertian etimologis kepribadian dapat dilihat dari pengertian dari term-term pandangannya. Seperti huwiyah, aniyah, dzattiyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri. Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata syakhshiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri
.[2] Oleh sebab itu dirasa perlu untuk menjelaskan masing-masing term tersebut dan kemudian memilih satu diantaranya untuk mewakili padanan term personality.
[3] Pertengahan abad XIX didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kepribadian kontemporer didunia Barat. Saat inilah Psikologi Kepribadian (dalam arti, personologi) dinobatkan sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Bersamaan abd ini pula, umat Islam telah abngun dari tidur panjangnya. Mereka mencoba berbenah diri untuk mengejar ketinggalan yang ada, khususnya dibidang sains. Oleh keadaan yang masih transisi inilah maka umat Islam kurang berminat menggali khazanahnya sendiri. Mereka lebih muncul kemudian adalah diskursus-diskursus keilmuan Islam modern (baik filsafat maupun psikologi) lebih akrab menggunakan istilah syakhshiyyah (personality) dari pada khuluq (karakter). Pemilihan term ini bukan tidak beralasan bahkan suatu kesengajaan. Tujuan utamanya adalah agar diskursus ilmu keislaman lebih dikenal oleh dunia lain. Isi dan substansinya mencerminkan nilai-nilai universal Islam, sementara simbol dan “bungkus”nya mengadopsi dari Barat.

Perubahan semantik ini apakah tidak mengubah konsep aslinya, sedangkan kedua term itu jelas-jelas dibedakan dalam diskursus psikologi. Terlebih lagi jika term itu dihadapkan pada orang awam, apakah hal itu tidak semakin memasukkannya kedalam “liang biawak”.

Nabi Adam a.s.. pertama kali diajarjakn ilmu oleh Allah SWT hanya dengan asma’ (nama-nama) (QS Al Baqarah[2]:30). Bukankah hal ini menunjukkan pentingnya sebuah nama? Nama identik dengan terminologi, dan terminilogi ekuivalen dengan konsep, sedangkan konsep merupakan produk penting dari akal budi manusia. Melalui sebuah nama seringkali seseorang menemukan gambaran mengenai karakteristik sesuatu, minimal mengetahui apa dan siapa yang diberi nama itu. Nama menunjukkan identitas dan eksis-nya sesuatu.[4]

Terlepas dari segala kelemahan dan kelebihan masing-masing term tersebut, penulisan dalam konteks ini lebih cenderung menggunakan istilah syakhshiyyah (lengkapnya syakhshiyyah islamiyah) untuk padanan personality. Selain secara psikologis sudah popular, term ini mencerminkan makna kepribadian lahir dan batin. Ia tidak dipahami kecuali dengan makna kepribadian. Sedangkan khuluq memiliki ambiguitas makna, dan secara psikologis kurang popular didalam diskursus komtemporer. Pemilihan term ini hanya berkaitan dengan “penyebutan” bukan berkaitan dengan substansi konseptulnya.

2. Makna Terminologi Kepribadian Islam
Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-konsep empiris dan filosofis disini meliputi dasar-dasar pemikiran mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan metodologi yang dipakai rumus. Oleh sebab itu, tidak satupun definisi yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab masing-masing definisi dilatar belakangi oleh konsep-konsep empiris dan filosofis yang berbeda-beda. Dengan begitu tidak berkelebihan jika Allport-- dalam studi kepustakaannya—menemukan sejumlah 50 definisi mengeinai kepribadian yang berbeda-beda yangdigolongkan kedalam sejumlah kategori.

Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana dapat dirumuskan dengan definisi “what a man really is” (manusian sebagai mana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu integrasi sistem kalbu, akal dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku. “definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang dikemukakan oleh para psikolog psikoanalitik seperti Sigmun Freud[5] dan Cherly Gustav Jung[6].

Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai strukturbiologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang merupakan struktur psikofisik kepribadain manusia. Struktur nafsani memiliki tiga daya, yaitu (1) qolbu yang memiliki fitrah keTuhanan (ilahiyah) sebagai aspek supra—kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (isaniah) sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hayawaniyyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya konasi (karsa).

Jadi, dari sudut tingkatnya maka kepribadain itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (KeTuhanan), kesadaran (kemanusiaan), dan pra—atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadain merupakan integrasi dari daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb).

3. Makna Psikologi Kepribadian Islam
Perumusan makna psikologi kepribadian Islam memiliki arti bagaimana Islam mendefinisikan kepribadian dari sudut pandang psikologis. Frame kajiannya tetap pada studi Islam yang menelaah terhadap fenomena perilaku manusia dari sudut pandang psikologis, sebab satu-satunya wacana yang eksis hanyalah Islam, sementara psikologi disini hanya satu pendekatan studi dalam studi Islam.

Berdasarkan pengertian kepribadaian di atas maka yang dimaksud dengan Psikologi Kepribadain Islam adalah “studi Islam yang berhubungan dengan tingkah laku manusia berdasarkan pendekatan psikologis dalam relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada sang Khalik-Nya agar dapat meningkatkan kualitas hisup di dunia dan akhirat.” Rumusan tersebut memiliki lima kompenen dasar yakni sebagai berikut.
Pertama, Studi Islam. Psikologi Kepribadian Islam merupakan salah satu kajian dalam studi keislaman, bukan bagian dari studi (atau cabang) psikologi. Sebagai disiplin ilmu keislaman, ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin keislaman yang lain, seperti teologi Islam, hukum Islam, ekonomi Islam, kebudayaan Islam, polotik Islam, dan sebaginya. Penggunaan term Islam disini memiliki arti corak, pola pikir, atau aliran dalam psikologikepribadian, yang memiliki eksistensi unik dibading dengan aliran psikologi kepribadian lain. Keunikannya baik dari aspek ontologi, epistimologi maupun aksiologinya. Studi Islam di sini juga memiliki arti bahwa bangunan kepribadain didasarkan atas Alquran, al-Sunnah,khazanah Islam sendiri, bukan dari bangunan kepribadain Barat.

Kedua, yang berhubungan dengan tingkah laku, manusia. Psikologi Kepribadain Islam mempelajari tingkah laku manusia. Dalam bentuk potensial, seluruh tingkah laku manusiatelah memilki takdir atau sunnatullah yang ditetapkan oleh Tuhan, meskipun takdir yang dimaksud memiliki banyak pilihan. Namun dalam bentuk aktual, manusia diberi kebebasan untuk mengekspresikannya, sehingga menimbulkan dinamika tingkah laku. Setiap tingkah laku memilki citra (image) dan keunikan tersendiri sesuai sesuai apa yang terdapat pada pelakunya. Tingkah laku disini bisa berupatingkah laku lahir maupun tingkah laku batin atau kedua-duanya. Tingkah laku lahir ada yang mencerminkan tingkah laku batinnya dan ada juga yang berbeda. Baik mencerminkan atau tidak semuanya disebut dengan tingkah laku.

Ketiga, berdasarkan pendekatan psikolohid. Studi tentang kepribadian dapat didekati dengan beberapa pendekatan, misalnya filsafat, psikologi, antropologi, dan sebagainya. Psikologi Kepribadain Islam merupaka\n studi kepribadain Islam yang dipandang dari sudut psikologi. Studi ini setidak-tidaknya menggambarkan apa dan bagaimana tingkah laku manusia menurut pandangan Islam yang ditimbulkan dari jiwanya.

Kempat, dalam relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada Sang Khalik. Psikologi Kepribadain Islam mengkaji tingkah laku manusia dengan berpijak pada fungsi kehidupan manusia. Manusia adalah sebagai mandataris Sang Khalik untuk menjadai khalifah dimuka bumi. Dalam bertingkah laku, manusia selain diberi potensi fitrah, juga memiliki relasi sesamanya dan dikaruniai alam dan isinya untuk dikelola yang baik. Oleh karena kedudukan ini maka setiap realisasi tingkah laku manusia merupakan cerminan ibadah, baik berkaitang dengan Tuhan, diri sendiri, sesamanya, serta pada alam semesta.

Kelima, untuk meningkatkan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Psikologi kepribadian Islam syarat akan nilai, yang dapat menghantarkan kebahagiaan hidup manusia. Kebahagian yang dimaksud tidak terbatas pada kebahagiaan duniawi yang sifatnya temporer dan semu, tetapi juga kebahgiaan ukhrowi yang sifatnya abadi dan hakiki. Pda aspek ini, Psikologi Kepribadain Islam bukan sekedar memotret dan mengidentifikasi tingkah laku (bicara apa adanya), melainkan juga mengungkap bagaimana seharusnya tingkah laku itu. Tentunya dalam hal ini tidak terlepas norma-norma baik-buruk yang telah ditetapka oleh Sang Khalik. Oleh karena tujuan ini maka studi Psikologi Kepribadain Islam diharapkan memiliki implikasi penting dalam kehidupan manusia.

SKEMA

Kepribadian dalam Psikologi Islam

C. Struktur Kepribadian Islam
Struktur kepribadian yang dimaksudkan disini adalah aspek-aspek atau elemen-elemen yang terdapat pada diri manusia yang karenanya kepribadiaannya terbentuk. Pemilihan aspek ini mengikuti pola yang dikemukakan oleh Khayr al-Din al-Zarkali. Menurut al-Zarkali, bahwa studi tentang diri manusia dapat dlihat melalui tiga sudut, yaitu:
1. Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya;
2. Jiwa (psikis); apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uniknya; dan
3. Jasad dan jiwa (psikofisik); berupa akhlak, perbuatan, dan sebagainya.[7]
Ketiga kondisi tersebut dalam terminologi islam lebih dikenal dengan term al-jasad, al-ruh, dan al-nafs. Jasad merupakan aspek biologis atau fisik manusia, ruh merupakan aspek psikologis atau psikis manusia, sedang nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang merupakan sinergi antara jasad dan ruh.

1. Struktur Jisim
Jisim[8] adalah aspek diri manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Pada aspek ini, proses penciptaan manusia memiliki kesamaan dengan hewan ataupun tumbuhan, sebab semuanya termasuk bagian dari alam fisikal. Setiap biotik-lahiriah memiliki unsur materiah yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air. Sedangkan manusia merupakan makhluk biotik yang unsur-unsur pembentukan materialnya bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut, sehingga manusia disebut sebagai makhluk yang terbaik penciptaanya. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Tin [95]: 4 disebutkan: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

2. Struktur Ruh
Keunikan esensial psikologi kepribadian islam dengan psikologi kepribadian yang lain adalah masalah strutur ruh. Karena ruh, seluruh bangunan kepribadian manusia dalam islamm menjadi khas. Ruh merupakan substansi (jawhar) psikologis manusia yang menjadi esensi keberadaannya, baik di dunia ataupun di akhirat. Hal itu berbeda dengan psikologi kepribadian barat yang hanya menerjemahkan ruh dengan spirit yang accident (‘aradh). Sebagai substansi yang esensial, ruh membutuhkkan jasad untuk aktualisasi diiri, bukan sebaliknya. Ruh yang menjadi perbedaan antara eksistensi manusia dengan makhluk lain[9].

3. Struktur Nafs
Ahli jiwa-falsafi memfokuskan perhatiannya pada akal, sehingga konsep pembagian jiwanya hanya mencakup daya kognisi dan daya konasi. Sedang ahli jiwa-tasawufi lebih memfokuskan perhatiannya pada cita rasa (dzawq), sehingga konsep pembagian jiwanya hanya mencakup daya emosi dan daya konasi. Sementara itu, ahli jiwa falsafi-tasawufi mengungkap tiga daya yang terdapat pada jiwa manusia, yaituu kognisi, konasi, dan emosi. Pendapat terakhir ini lebih relevan untuk diskursus psikologi, walaupun diperlukan modifikasi sebagian term-termnya tanpa mengubah esensinya. Dengan begitu maka pembagian nafsani manusia adalah:
a. Daya qalb yang berhubungan dengan emosi (rasa) yang berhubungan dengan aspek-aspek afektif;
b. Daya ‘aqal yang berhubungan dengan kognisi (cipta) (kognitif) yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif;
c. Daya hawa nafs yang berhubungan dengan konasi (karsa) yang berhubungan dengan aspek-aspek psikomotorik.

D. Dinamika Kepribadian Islam
Manusia dalam konsepsi kepribadain Islam merupakan makhluk mulia yang memiliki struktur kompleks. Banyak diantara psikolog kepribadain Barat, khususnya aliran behavioristik, kurang memperhatikan substansi jiwa manusia. Manusia hanya dipandang dari sudut jasmaniah saja yang melibatkan penelitian yang dilakukan seputar masalah lahiriah. Mereka banyak melakukan eksperimen terhadap tingkah laku binatang dan hasilnya digunakan untuk memotret tingkah laku manusia. Teori tingkah laku binatang disamakan dengan teori tingkah laku manusia. Padahal struktur kepribadian manusia selain struktur jasmaniah juga terdapat struktur ruh yang mana keduanya merupakan substansi yang menyatu dalam struktur nafsani.
Oleh karena itu, pemahaman kepribadian manusia tidak hanya tertumpu pada struktur jasmani melainkan harus juga meliputi struktur ruh. Lebih jauh konsep yang berkembang dari psikologi pada umumnya manafikkan hal yang berbau metafisik, transendental, dan spiritualitas. Ruh dikatakan sebagai tempat bersemayamnyaspiritualitas (fitrah) yang mengarah pada sesuatu yang transenden untuk mempresentasikan sifat-sifat Tuhan dengan potensi luhur batin melalui proses aktualisasi yang dimotori oleh amanah atau pancaran ilahi. Inilah yang menjadi motivasi tingkah laku manusia.[10]

Dinamika kepribadain Islam dibagi menjadi:

1. Dinamika struktur jasmani
Struktur jasmani merupakan aspek biologis dari struktur kepribadian manusia. Aspek ini tercipta bukan dipersiapkan untuk membentuk tingkah laku tersendiri, melainkah sebagai wadah atau tempat singgah struktur ruh. Kedirian dan kesendirian struktur jasmani tidak akan mampu membentuk suatu tingkah laku lahiriah, apalagi tingkah laku batiniah.
Struktur jasmani memiliki daya atau energi yang mengembangkan proses fisiknya. Energi ini lazimnya disebut dengan daya hidup. Daya hidup kendatipun sifatnya abstrak, tetapi ia belum mampu menggerakkan suatu tingkah laku. Suatu tingkah laku dapat terwujud apabila struktur jasmani telah ditempati struktur ruh. Proses ini terjadi pada manusia ketika usia empat bulan didalam kandungan. Saat ini manusia memiliki struktur nafsani. Oleh karena fitrah struktur jasmani seperti inilah maka ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.

Konsep kepribadian Islam seperti itu berbeda dengan persepsi psikologis iblis. Iblis menduga bahwa substansi dirinya lebih baik daripada substansi manusia. Ia tercipta dari apai sedanag manusia tercipta dari tanah. Api yang menjadi bahan dasar penciptaan iblis lebih baik naturnya daripada tanah yang menjadi bahan dasar penciptaan manusia. Allah SWT berfirman:

“Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah” (QS Shad [38]: 76). Menurut Ikhwan al-Shafa, iblis mengalami kesalahan persepsi dalam melihat keutuhan manusia. Iblis hanya melihat aspek fisik manusia tanpa melihat aspek ruhaninya. Oleh karena kesalahan persepsi ini ia enggan bersujud pada Adam a.s. ketika ditiupkan ruh padanya.

Banyak pakar kontemporer yang telah menentukan bahwa, substansi manusia sama dengan substansi binatang. Diantara mereka misalnya Lemettrie (1709-1751) seorang materialisme,[12] Darwin (1809-1882) seorang evolusionisme,[13] dan Haeckel (1834-1919) seorang biologisme-animalisme.[14] Persepsi iblis tersebut kemudian disempurnakan dengan konsep bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, berpolitik, bersosial, berbudaya, berjiwa, berbahasa, menyadari dirinya sendiri dan bertanggungjawab atas perbuatannya.

Dengan begitu hal ini hanyalah menyentuh pada aspek-aspek yang instrumental, belum pada aspek substansial. Dalam Islam, manusia adalah manusia, makhluk Allah SWT yang memikul amanah sebagai hamba dan Khalifah-Nya. Ia bukan hewan yang bebas dari taklif, melainkan makhluk mendataris Tuhan. Sekalipun manusia berpotensi untuk mengaktualisasikan naluri kehewanannya, bukan ia lebih hina daripada hewan, tetapi ia tetap makhluk yang bernama manusia, yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2. Dinamika Struktur Ruhani
Struktur ruhani merupakan aspek psikologis dari struktur kepribadian manusia. Aspek ini tercipta dari Amar Allah yang sifatnya ghaib. Ia diciptakan untuk jadi substansi sekaligus esensi kepribadian manusia. Eksistensinya tidak hanya dialam imateri, tetapi juga dialam materi (setelah bergabung dengan fisik), sehingga ia lebih dulu dan lebih abadi adanya. Dari pada stuktur jasmani. Naturnya suci dan mengejar pada dimensi-dimensi spiritual. Kedirian dan kesendiriannya mampu bereksistensi meskipun sifatnya didunia imateri. Suatu tingkah laku “ruhaniah” dapat terwujud dengan kesendirian struktur ruhani. Tingkah laku menjadi aktual apabila struktur jasmani menjadi satu dengan struktur ruhani.

Firman Allah SWT: (QS Al-An’am [6]: 162). Allah SWT dalam firman tersebut merupakan asal dan tujuan dari segala kepribadain yang ada. Dikatakan “asal” karena komponen atau struktur kepribadian diciptakan dan diatu oleh-Nya. Penciptaan dan pengaturannya telah ditetapkan dialam perjanjian (mitsaq) sebelum kejadian material ada. Dikatakan “tujuan” karena semua tindakan atau tingkah laku manusia hanya untuk merealisasikan perjanjian-Nya. Dia-lah yang menjadai tujuan hakiki kehidupan manusia. Apabila kepribadian seseorang tertuju pada-Nya berartia ia rela menempatkan dirinya pada tujuan yang hakiki, sebab Dia Maha Segalanya. Kepribadain semacam ini tidak akan disia-siakan oleh-Nya melainkan diberi kenikmatan dan hakiki pula. Sebaliknya, suatu kepribadain yang tidak termotivasi dan tetuju pada-Nya berarti ia rela menempatkan dirinya pada posisi yang paling hina, sebab ia tidak mengetahui yang Maha Besar. kepribadain semacam ini kelak akan mendapatkan siksaan yang pedih.

3. Dinamika Struktur Nafsani
Struktur nafsani merupakan struktur psikofisik dari kepribadian manusia. Struktur ini diciptaakn untuk mengaktualisasikan semua rencana dan perjanjian Allah SWT, kepada manusia dialam arwah. Aktualisasi itu berwujud tingkah laku atau kepribadain. Struktur nafsani tidak sama dengan sruktur jiwa sebagai mana yang difahami dalam psikologi Barat. Ia merupaka paduan integral antara struktur jasmani dan struktur ruhani. Aktifitas psiskis tanpa fisik merupakan sesuatu yang ghaib, sedang aktifitas fisik tanpa psikis merupakan mesin atau robot. Kepribadain manusia yang terstruktur dari nafsani bukanlah seperti kepribadian malaikat dan hewan yang diprogram secara deterministik. Ia mampu berubah dan dapat menyusun drama kehidupannya sendiri. Kehidupan semacam itu akan terwujud apabila terjadi interaksi aktif antar aspek fisik dan aspek psikis dari struktur nafsani.

E. Tipologi Kepribadian Islam
Tipologi kepribadian dalam islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah banyak ragamnya. Keragaman itu disebabkan sudut pandang dalam melihat dan negklarifikasi ayat atau hadits Nabi SAW tentang kepribadian. Kepribadian Islam dibagi menjadi:

1. Tipe Mukmin
Yaitu mereka yang beriman atau percaya kepada yang ghaib seperti (Allah, malaikat, dan ruh) menunaikan shalat, menafkahkan rezekinya kepada fakir miskin dan yatim piatu, beriman kepada kitab Allah, dan beriman kepada hari akhir. Tipe ini digolongkan sebagai tipe dengan beruntung (mufidh) karena telah mendapatkan petunjuk. Al-Baqarah 3-5.

"(Yaitu) mereka yang beriman kepada ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka “yang beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin dengan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.

2. Tipe Kafir
Yaitu mereka yang ingkar terhhadapp hal-hal yang dipercayai sebagai seorang mukmin. Tipe seperti ini digammbarkan sebagai tipe yang sesat karena terkunci hati, pendengaran dan penglihatannya dalam masalah kebenarannya. Al-Baqarah 6-7.

“Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan pendengaran mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat.

3. Tipe Munafik
Yaitu mereka yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, tetapi imannya hanya di mulut belaka, senantiasa hatinya ingkar. Mereka ingin menipu Allah dan orang mukmin, walaupun sebenarnya ia menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar. Al-Baqarah 8-14

“Di antara mereka ada yang mengatakan: “Kami berima bkepada Allah dan hari kemudian,” padahal merekaitu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlahb kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman?”Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu. Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan apabila mereka kembal kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok".

[1]
[2] Masing-masing istilah itu jika disebut secara bersamaan maka masing-masing istilah memiliki makna tersendiri, sesuai dengan spesifikasi masing-masing istilah. Namun apabila disebut salah satunya maka istilah yang disebut itu mewakili istilah yang lain.
[3] Abdul Mujib, Kepribadain Dalam psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 18-19)
[4] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 3).
[5] Kepribadian adalah “integrasi dari id, ego, dan super ego”.
[6] Kepribadain adalah “integrasi dari ego, ketidak sadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks, arkheti-arkhetip, pesona, dan anima”.
[7] Pembahasan lebih lengkap, lihat abdul mujid, Fitrah dan Kepribadian ilam, Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah, 1999), Bab III.

[8] Term al-jisim sama artinya dengan al-jasad, hanya saja jisim lebih umum ketimbang jasad. Menurut Al-khalil, term jasad tidak boleh dipergunakan untuk selain spesis manusia, sedangkan jisim untuk seluruh tubuh pada umumnya. Kata al-jasd dalam Al-qur’an diulang sebanyak 4 kali surat. Dua diantaranya menyebutkan fisik manusia (Q.S. Yusuf [12]:8; Al-Qashash [28]:34), sedang dua yang sisanya meneybutkan tubuh lembuh (Q.S. Al-A’raf [7]:148; Thaha [20]:88). Sedangkan kata al-jism diulang sebanyak dua kali dalam dua surat, yang keduanya menyebutkan fisik manusia (Q.S. Al-Baqarah [2]: 247; Al-Munafiqun {63]:a). Untuk tulisan ini, penulis menyamakan kedua term tersebut.
[9] Iblis yang terstruktur dari hawa nafsu dan tidak memiliki struktur akal telah mengalami kesalahan dalam mempersepsi diri manusia. Ibliis hanya melihat manusia dari sudut jasadiah yang tercipta dari tanah, dan tidak melihat dari sudut ruhaniah yang tercipta dari alam amar Allah. Dari sudut jasmani, tanah bisa saja lebih buruk dari api, sehingga iblis menduga dirinya lebih mulia dari pada manusia. Namun dari sudut ruhani, jiwa manusia lebih lengkap dari pada jiwa iblis, sehingga manusia lebih mulia darinya.
[10] Hamim Rasyidi, psikologi Kepribadian, (Surabaya: Jaudar Press, 2012, hlm. 159-160)
[11] Abdul Mujib, Kepribadain Dalam psikologi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. )
[12] Menurutnya, manusia adalah suatu mesin. Ia tidak memiliki perbedaan dengan hewan, bahkan jiwanya merupakan produk dari pertumbuhan badan.
[13] Menurutnya, manusia sejajar dengan hewan dan kejadiannya dari sebab-sebab mekanik. Darwin terkenal sebagai pencetus teori seleksi alam dan ilmu turunan.
[14] Menurutnya, tidak ada sangsi bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh binatang yang beruas tulang belakan, yakni bintang menyusui.

Dasar Logika Analogi


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen mata kuliah Dasar Logika yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan makalah tentang Analogi.Semoga makalah ini dapat memenuhi tugas yang diberikan kepada kami.Terima atas kerjasama kepada teman-teman kelompok yang sudah berpartisipasi dalam melaksanakan tugas ini dengan semaksimal mungkin.
Sebagai manusia yang masih banyak kekurangan terutama ilmu pengetahuan dan pengalaman.kami mengharap kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun,agar kedepannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.Demikianlah makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.Terimakasih













DAFTAR ISI


Kata pengantar.............................................................................. 1
Daftar isi.........................................................................................2
Bab I pendahuluan........................................................................3
     1.      Latar Belakang Masalah.................................................3
     2.      Rumusan Masalah..........................................................4
     3.      Tujuan..............................................................................4
BAB II    PEMBAHASAN...............................................................5
1.       Pengertian Analogi...........................................................5
2.  Macam-macam Analogi......................................................6
a. Analogi Induktif........................................................................6
b. Analogi Deklaratif.....................................................................6
3. Cara Menilai Analogi................................................................6
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN............................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................9

























BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya, maka timbulah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda.
Pada proses analogi ini tentunya melibatkan sebuah pengalaman, berangkat dari suatu fenomena yang sudah kita ketahui menuju fenomena serupa dalam hal-hal yang pokok. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kekeliruan besar. Bisa saja karena tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita untuk menunjukkan kekeliruannya.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui analogi secara benar agar tidak terjadi kekeliruan dalam membuat analogi. Dalam makalah ini mencoba menjelaskan analogi dan beberapa hal yang berhubungan dengan analogi berdasarkan beberapa referensi sehingga diperoleh suatu pemahaman yang utuh.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menemukan permasalahan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Permasalahan ini akibat dari logika bahasa yang sering kali salah. Akibatnya pesan komunikasi tidak tersampaikan bahkan bisa berakibat fatal. Misperseptions. Pertanyaannya kemudian adalah, bagiamanakah kita berinteraksi yang baik dan benar? Tentunya kita sebagai mahkluk yang berfikir, bisa menggunakan potensi akal. Diantaranya adalah menggunakan logika. Berangkat dari permasalahan diatas, penulis mencoba menjelaskan salah satu komponen ilmu logika yaitu Analogi sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Salah satu bentuk perkembangan bahasa indonesia adalah berupa penyerapan kata kedalam bahasa indonesia yang berasal dari bahasa-bahasa asing pemberi pengaruh. Penyerapan kata- kata asing ke dalam bahasa indonesia ini melahirkan permasalahan- permasalahan  kebahasaan yang dapat disoroti dari perspektif analogi.
Di sini pendukung analogi mengatakan bahwa alam memiliki keteraturan, manusia juga memilki keteraturan, begitu juga halnya dengan bahasa. Dengan adanya permasalahan- permasalahan kebahasaan ini maka tujuan inilah karya ini di tulis.


2.      Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, penulis mengidentifikasikan masalahnya sebagai berikut:
a.            Bagaimanakah penerapan analogi dalam Bahasa Indonesia?
b.            Masalah apakah yang timbul dalam perkembangan analogi?
c.             Hal apa saja yang  menyebabkan kesalahan dalam analogi?


3.      Tujuan

Penulisan ini bertujuan agar kita  memiliki kemampuan sebagai berikut :
a.            Dapat mengetahui pengertian analogi secara logika
b.            Dapat mengetahui macam-macam analogi
c.             Dapat mengetahui bagaimana menilai analogi


































BAB II
    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Analogi
Analogi dalam bahasa indonesia ialah ‘kias’ (Arab: qasa = mengukur, membandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Contoh kalau lembu dibandingkan dengan kerbau, maka kedua-keduanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang lain mengenai besarnya, warnanya dan sebagainya. Sarno dan sarni adalah kedua-keduanya adalah anak pak sastro, akan tetapi sarno laki-laki, sarni perempuan, sarno berumur 16 tahun, sarni 10 tahun dan seterusnya. Kalau dalam perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat perbedaannya, timbbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda.

Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagi penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan. Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya. Bangsa itu bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi pejuang yang gugur dalam membela bangsanya, menjadi perhiasan bagi bangsanya, sehingga secara analogi dikatakan bahwa pejuang itu’ gugur sebagai kusuma bangsa’ .

Analogi kadang-kadang disebut juga analogi induktif yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama akan terjadi juga pada fenomena yang lain; demikian pengertian analogi jika kita hendak memformulasikan dalam suatu batasan. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsur yaitu: peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan prinsipal yang menjadi pengikat bdan ketiga fenomena yang hendak kita analogikan.

Sebagian besar pengetahuan kita disamping didapat dengan generalisasi didapat dengan penalaran analogi. Contoh: Jika kita membeli sepasang sepatu (peristiwa) dan kita berkeyakinan bahwa sepatu itu akan enak dan awet dipakai (fenomena yang dianalogikan), Karena sepatu yang dulu dibeli di toko yang sama (persamaan prinsip) awet dan enak dipakai maka penyimpulan serupa adalah penalaran analogi. Begitu pula jika berkeyakinan bahwa buku yang baru saja kita beli adalah buku yang menarik karena kita pernah membeli buku dari pengarang yang sama yang ternyata menarik.

Contoh lain dari penyimpulan analogi adalah: Kita mengetahui betapa kemiripan yang terdapat antara bumi yang kita tempati ini dengan planet-planet lain, seperti Saturnus, Mars, Yupiter, Venus dan Mercurius. Planet-planet ini kesemuanya mengelilingi matahari sebagaimana bumi. Planet-planet itu berputar pada porosnya sebagaimana bumi, sehingga padanya juga berlaku pergantian siang dan malam. Sebagiannya mempunyai bulan yang memberikan sinar manakala matahari tidak muncul dan bulan-bulan ini meminjam sinar matahari sebagaimana bulan pada bumi. Merka semua sama, merupakan subyek dari hukum gravitasi sebagaimana bumi. Atas dasar persamaan yang sangat dekat antara bumi dengan planet-planet tersebut maka kita tidak salah menyimpulkan bahwa kemungkinan besar planet-planet tersebut dihuni oleh berbagai jenis makhluk hidup

2.  Macam-macam Analogi

a. Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan. Misalnya : Group Band ungu mampu menjadi band yang paling terpopuler karena menarik perhatian banyak orang.Maka group band wali akan mampu menjadi band yang terpopuler juga jika menarik perhatian banyak orang.

b. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. Misalnya : untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan hubungan  antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan hubungan  antara akal dan hati.

3. Cara Menilai Analogi
Untuk menguji apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya, dapat kita gunakan analisa berikut:

a. Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Semakin banyak peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar taraf kepercayaannya. Misalnya, suatu ketika saya mengambil mata kuliah Logika dengan dosen bapak Rendra dan ternyata beliau murah hati dalam memberikan nilai kepada mahasiswanya, maka atas dasar analogi, saya bisa menyarankan kepada teman saya, si B, untuk memilih bapak Rendra sebagai dosen mata kuliah logikanya. Analogi saya menjadi lebih kuat setelah B juga mendapat nilai yang memuaskan dari bapak Faizin. Analogi menjadi lebih kuat lagi setelah ternyata C, D, E, dan F juga mengalami hal serupa.
b. Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi. Semakin banyak aspek yang menjadi dasar analogi, semakin besar taraf kepercayaannya. Misalnya, tentang flashdisk yang baru saja saya beli di sebuah toko A. Bahwa flashdisk yang baru saya beli tentu akan awet dan tidak mudah terserang virus karena flashdisk yang dulu dibeli di toko A juga demikian. Analogi menjadi lebih kuat lagi misalnya diperhitungkan juga harganya, mereknya, dan kapasitasnya.

c. Sifat dari analogi yang kita buat. Semakin rendah taksiran yang dianalogikan, semakin kuat analogi itu. Misalnya, Ahmad yang duduk di kelas unggulan di SLTP Harapan Bangsa dapat menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 60 menit. Kemudian kita menyimpulkan bahwa Olivia, teman satu kelas Ahmad juga akan bisa menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 60 menit, analogi demikian cukup kuat. Analogi ini akan lebih kuat jika kita mengatakan bahwa Olivia akan menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 50 menit, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa Olivia akan menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 75 menit.

d. Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda, semakin kuat analogi itu. Misalnya, kita menyimpulkan bahwa Fahri adalah mahasiswa yang pandai karena dia berhasil menjadi delegasi untuk dikirim ke Mesir. Analogi ini menjadi lebih kuat jika dipertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para delegasi sebelumnya, A, B, C, D dan E yang mempunyai latar belakang yang berbeda dalam ekonomi, pendidikan SLTA, keluarga, daerah, pekerjaan orang tua, toh kesemuanya adalah mahasiswa yang pandai.

e. Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila masalah yang dianalogikan itu relevan, maka semakin kuat analogi itu. Bila tidak, analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Analogi yang relevan biasanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan kausal. Misalnya, kita tahu bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak rapat untuk menjaga kemungkinan mengembangnya. Bila kena panas, rel tetap pada posisinya. Maka ketika hendak membangun rumah, kita menyuruh tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungan besi pada rangka rumah. Disini kita hanya mendasarkan pada suatu hubungan kausal bahwa karena besi memuai bila kena panas, maka jarak yang dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari bahaya melengkung.

                                                           











BAB III
                                                KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaa.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari uraian di atas adalah bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang yang beru-saha untuk mencari solusi dalam menghadapi masalah-masalah pokok pandangan dunia dan masalah keyakinan adalah jalan logika atau metode rasional. Dengan demikian maka pandangan dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia falsafi.
   
SARAN
Demikianlah pembahasan mengenai analogi.hendaknya para  mahasiswa lebih teliti dalam membuat suatu analogi agar tidak diperoleh analogi yang pincang.makalah ini tidak lebih hanyalah suatu kumpulan pemikiran dan teori dari berbagai sumber.kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna.maka saran dan kritik dari pembaca kami harapkan untuk menjadi maklah yang lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA
Kaelan.1998.Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya.Yogyakarta : Pardigma
W.Poespoprodjo & T.Gilarso.1999.Logika Ilmu Menalar,Bandung : Pustaka Grafika







Penting! Minum 7 Suplemen Ini di Usia 20-an supaya tetap sehat di usia tua.

Umumnya, usia 20-an adalah usia di mana kita sedang sehat-sehatnya. Nge-gym selama 2 jam? Bisa. Naik gunung hingga berhari-hari? Hayuk. Bega...